Jangan Lupakan “Khittah”

0
720
OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Trabas.co — Hari ini, Rabu tanggal 09 Februari 2022, segenap insan pers merayakan Hari Pers Nasional HPN) tahun 2022. Acara puncak secara nasional digelar di Kendari, Sulawesi Tenggara. Jika biasanya acara puncak HPN dihadiri Presiden secara langsung, berbeda untuk tahun ini Presiden Joko Widodo lebih memilih dan mementingkan menghadiri sidang pleno khusus Mahkamah Konstitusi (MK) dengan agenda laporan tahunan–ketimbang bersilaturahmi dengan ribuan insan pers dari berbagai pelosok di Tanah Air.

Apakah karena virus Covid-19 varian Omicron melonjak sehingga Presiden tidak ingin menimbulkan kerumunan sehingga melanggar Prokes?. Menurut Deputi Biro Protokol Media Istana Sekretariat Presiden Bey Machmudin, Presiden Jokowi tetap membuka peringatan HPN, tapi dilakukan secara virtual dari Istana Negara di Jakarta.

Bey menjelaskan, kasus Covid-19 yang kian menanjak membuat Presiden Jokowi membatalkan kedatangannya ke Kendari, Sulawesi Tenggara. “Jadi karena adanya lonjakan kasus harian Covid-19, beberapa kegiatan dialihkan secara virtual, tetapi untuk [kegiatan] yang tidak bisa dilakukan secara virtual, ditunda dulu hingga kasus Covid-19 melandai kembali,” ujarnya.

Kalau memang sejatinya alasan ketidakhadiran Presiden secara langsung dalam perhelatan para wartawan se-Indonesia ini murni gara-gara Covid-19, kita harus angkat topi kepada beliau. Kita yakin beberapa agenda ke depan akan dihadiri Presiden secara virtual. Dan yang pasti bakal tidak ada kerumunan rakyat menyambut kepala negara yang sering melempar sembako dan kaos untuk rakyatnya tersebut.

Pada peringatan HPN tahun 2021 silam, Presiden juga tidak hadir secara fisik. Presiden menyampaikan pidato dari Istana, sementara peserta HPN meski sudah dibatasi hanya perwakilan dari masing-masing PWI provinsi dan organisasi pers lainnya mengikutinya dari Ancol, Jakarta Utara. Saat itu alasannya, sama yakni pandemi Covid-19. Namun ketika itu varian Delta yang mengganas.

Ketidakhadiran Presiden secara langsung dengan alasan pandemi Covid-19, bisa kita terima dengan akal sehat. Tapi mari kita lihat ke depan, apakah agenda-agenda Presiden yang melibatkan banyak tamu juga akan dilakukan secara virtual, seperti HPN 2022 di Kendari hari ini? Jika Presiden tetap seperti biasa, langsung terbang ke berbagai daerah, dan tetap melempar kaos dan sembako, meski varian Omicron kian berkecamuk, tentu wajar jika wartawan melakukan analisa.

Ditinjau dari sisi politik, jelas Presiden Jokowi sudah pada periode kedua dan dengan ditetapkannya jadwal Pemilu oleh penyelenggara bersama pemerintah yakni 14 Februari 2024 maka koar-kaor soal jabatan Presiden tiga periode hilang bak ditelan bumi. Jadi sudah tidak diperlukan lagi dukungan pers untuk masa jabatan mendatang seiring meredupnya wacana amandemen UUD 1945 yang memberi peluang presiden bisa menjabat tiga periode. Tentu ini sebuah sinyal bahwa Pak Jokowi akan mengakhiri jabatannya pada tahun 2024 mendatang.

Kecuali, jika pada tahun itu muncul varian Covid-19 yang lebih ganas lagi dari Omicron dan Delta sehingga pemerintah menetapkan PPKM level tertinggi di sebagian besar wilayah Indonesia. Lalu MPR bersidang secara virtual memutuskan perpanjangan masa jabatan Presiden hingga serangan si virus reda. Muncul pertanyaan? Apa bisa pihak-pihak yang mendukung perpanjangan masa jabatan presiden memesan virus yang lebih ganas ke lab-lab pembuat virus di negara-negara maju sana untuk ditebar di seluruh Indonesia?

Menurut kita yang waras dan memiliki hati nurani tentu tidak akan tega melakukannya. Tetapi bagi yang punya kepentingan, itu sah-sah saja, soal biayanya toh banyak cukong yang mau memodalinya. Bahkan bisa jadi biayanya lebih murah ketimbang membiayai seorang tokoh untuk jadi presiden berikutnya.

Lalu apakah dalam masa jabatan yang tersisa dua tahun ini, Presiden tidak butuh dukungan pers sebagai pembentuk opini masyarakat sehingga rakyat mendukung semua kebijakan pemerintah? Tentu ya! Toh selama ini media-media mainstream sudah mendukung apapun program pemerintah. Apalagi sebagian media mainstream terafiliasi dengan parpol pendukung pemerintahan yang berkuasa. Lalu melalui berbagai program kerjasama dari kementerian atau lembaga yang tentunya bernilai fulus, secara tidak langsung jadi lah media tersebut “humas pemerintah”.

Saya masih ingat ketika beberapa tahun lalu seorang koresponden TV berita swasta nasional sampai mundur dan pindah TV lainnya ke karena berita demo menentang pemerintah dilarang diliput. Padahal pendapatan si koresponden hanya dari honor berita yang ditayangkan, sementara saat itu demo lagi marak.

Kenapa bisa begitu? Karena pers Indonesia yang pada awal-awal kelahirannya adalah pers perjuangan—artinya memperjuangkan kepentingan rakyat agar merdeka dalam segala hal—sudah berevolusi menjadi pers industri. Dalam sebuah industri, maka setiap berita adalah komoditas yang memiliki harga.

Contoh kecil saja. Belum lama ini, terjadi demo puluhan pekerja tambak udang di Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung karena tambak tempat mereka disegel Satpol PP Pemkab setempat. Ini kan jelas jeritan rakyat kecil yang menuntut periuk nasinya jangan ditunggingkan dan memiliki nilai berita kuat. Tetapi jika liputan ini bisa tayang secara nasional di sebuah TV swasta, yang punya hajat harus setor dana yang jumlahnya di atas Rp20 juta untuk sebuah berita setengah menit.

Karena kebanyakan berita media sudah “berbayar” maka diakui ataupun tidak kepercayaan rakyat terhadap media massa tergerus. Untuk meyakinkan masyarakat bahwa medianya masih objektif, sebuah TV swasta nasional sampai-sampai harus disebut pembaca berita berulang-ulang saat memulai membaca berita bahwa TV mereka independen dan terpercaya. Itu artinya memang terjadi penurunan kepercayaan dan tingkat independensi media yang berimbas turunnya rating.

Setalitigawang dengan di daerah, media-media cetak, televisi dan online berebut menjalin kerjasama dengan Pemda. Sebab untuk media cetak, oplah sudah makin ciut, iklan seret karena pertumbuhan ekonomi anjlok tiga tahun terakhir. Sehingga advertorial dan langganan dari Pemda lah yang jadi andalan untuk kelangsungan operasional. Sebetulnya strategi ini bagai buah simalakama, jadi “humas” Pemda media tidak dibaca, mau objektif dan faktual, iklan dan oplah juga seret.

Dampaknya pasti, pembaca dan pemirsa tidak mendapatkan pemberitaan yang faktual, objektif dan utuh terkait peristiwa dan kebijakan Pemda beserta jajarannya. Sebab jika ada berita yang mengkritik maka kerjasama diputus, yang berujung kepada berkurangnya pendapatan media.

Beralih ke Medsos
Ketika rakyat tidak lagi mendapatkan informasi yang utuh dari media massa maka mereka beralih ke media sosial sehingga pengunjung medsos melonjak tajam. Konsekwensi logisnya, medsos dibanjiri iklan. Bahkan produk-produk yang tadinya memasang iklan di media massa lokal juga ikut beralih memasang iklan ke medsos. Dengan begitu pemegang saham Youtube, Google, facebook, instagram dan lain-lain menjadi superkaya, nilai sahamnya meningkat berkali-kali lipat.

Jadi singkat kata, banyak sedikitnya kebijakan pemberitaan media ikut mempercepat kehancurannya karena terlalu berpihak kepada yang bayar alias menjadikan berita sebuah komoditas dagang. Begitu kepercayaan terhadap media menurun maka pembaca, pemirsa dan pengunjung berkurang dan berdampak kepada jatuhnya pendapatan dari iklan.

Memang kondisi demikian tidak pukul rata, masih ada beberapa portal berita, baik di ibukota atau di sejumlah daerah yang malah pengunjungnya jutaan dan iklannya bejibun. Tetapi kenapa mereka bisa demikian? Mereka bisa mempertahankan kepercayaan pembaca melalui pemberitaan yang objektif dan berani mengkritik pemerintah serta mengatakan yang benar meski pahit.

Karena itu pada HPN 2022 ini, saya mengajak segenap insan pers di Tanah Air untuk tidak melupakan “khitah” kelahiran pers Indonesia. Kita bekerja bukan sekadar mencari hidup, tetapi mengemban tugas mulia yakni mencerdaskan bangsa ini dari kebodohan dan menegakkan keadilan di Bumi Pertiwi. Sekian. (syafnijal dt sinaro/pemred)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here