MENGAPA REZIM JOKOWI INGIN PENJARAKAN ANIES?

0
626

Trabas.co – Memenjarakan Anies adalah salah satu jalan untuk menjegal Anies mengikuti pilpres 2024. Memilih jalur demokrasi adalah jalan damai bagi sharing tanggung jawab mengurus bangsa ini. Namun, memenjarakan Anies atas dasar haus kekuasaan, merupakan bentuk kekerasan yang akan selalu dikenang sebagai jalan yang keliru.

Risiko atau ancaman ekonomi politik ke depan terlalu besar untuk dihadapi rezim
Jokowi sendiri.

Isu memenjarakan Anies Baswedan sangat kencang setelah berbagai media
memberitakan video yang diunggah Ketua Bappilu Partai Demokrat Andi Arief.
Dalam video tersebut Andi Arief menyebut hanya ada dua pasang calon presiden
yang akan bertarung di Pemilu 2024. Selain itu, Andi Arief juga menyatakan
Anies Baswedan tidak akan maju ke Pemilihan Presiden 2024 karena akan dijegal
dan masuk penjara.

Belakangan Andi Arief mengklarifikasi bahwa video tersebut dibuat untuk internal
bukan untuk disebarluaskan. “Sehubungan dengan beredarnya video wawancara saya,
mohon untuk tidak dikutip. Pertama, itu buat internal. Kedua, ada beberapa
bagian yang dipotong dan bisa membuat salah paham,” cuit Andi Arief di akun
twitter miliknya @Andiarief, Senin (26/9/2022).

Meski Andi Arief mengklarifikasi video itu hanya untuk kalangan internal, tapi
Andi belum mengklarifikasi tentang isinya. Selain itu, pernyataan Andi
sepertinya memperkuat pernyataan SBY sebelumnya, bahwa dia akan turun gunung
meluruskan arah demokrasi karena adanya keinginan kekuasaan merekayasa pemilu
hanya diikuti dua calon presiden saja.

Publik awalnya menganggap sepele realitas politik yang disampaikan Andi Arief
dan SBY. Publik melihat apa yang dilakukan SBY sebatas upaya mengamankan anaknya
AHY untuk bisa menjadi Cawapres Anies Baswedan, ketimbang urusan bangsa.

Namun, kita kembali dikejutkan oleh berita Koran Tempo, (1/10/2022), yang
memberitakan upaya ketua KPK Firli Bahuri untuk memenjarakan Anies Baswedan.
Dalam berita yang viral di media sosial, Tempo menulis judul “Manuver Firli
Menjegal Anies”, yang memuat antara lain, Ketua KPK Firli Bahuri ditenggarai
terus menerus mendesak satuan tugas pengusut kasus Formula E untuk menetapkan
Anies sebagai tersangka.

Namun, tim pengusut kesulitan menemukan bukti permulaan. Tempo yang terkenal
dengan kemampuan investigasi, menguraikan bahwa Firli berusaha keras menjadikan
Anies tersangka sebelum Anies ditetapkan sebagai Capres oleh beberapa partai
yang akan mendukungnya.

Intervensi Firli ini juga dengan mencari berbagai ahli, seperti ahli hukum
pidana Profesor Romli Atma Sasmita, untuk dirayu memberikan pandangan hukum
bahwa Anies bisa jadi tersangka – dalam berita ini Romli menolak.

Alhasil kita melihat rangkaian co-existensi pernyataan SBY dan Andi Arief dengan
berita Tempo, memang ada kecenderungan penggunaan kekuasaan dalam merusak
demokrasi saat ini.

✅ Mengapa Anies Harus Dipenjarakan?
Memenjarakan Anies adalah salah satu jalan untuk menjegal Anies mengikuti
pilpres 2024. Cara yang lainnya adalah mempertahankan PT (Presidential
Threshold) yang tinggi (20%), menghalangi terbentuknya koalisi partai-partai
yang bisa mengusung Anies dan menghancurkan potensi logistik (pengusung) Anies.
Namun, cara ini kelihatannya tidak akan sukses. Sebab, koalisi pendukung Anies,
yang dimotori Surya Paloh, semakin kemari semakin solid.

Ada tiga hal penting memotivasi penjegalan Anies. Pertama, survei-survei pilpres
tentang Anies. Kedua, pandangan geostrategis Anies. Ketiga, trauma kekalahan
Ahok 2017.

Soal survei-survei kita harus membagi survei yang tergolong kredibel dan
propagandis. Dari semua survei dengan jenis manapun, Anies masuk dalam 3 besar.
Artinya, sulit menyingkirkan Anies dari survei. Selanjutnya adalah survei
kredibel. Kredibel bukan dalam pengertian research (validitas dan reliabilitas),
tapi lembaga surveinya.

Yang ingin saya bahas adalah hasil survei CSIS (Center for Strategic and
International Studies) terbaru. Lembaga yang didirikan oleh Orde Baru ini adalah
lembaga think-tank tertua dan terbesar di Indonesia, sehingga kepentingan
lembaga ini untuk mempertahankan kredibilitas cukup tinggi.

Nah, CSIS mengeluarkan survei terbaru yang mengagetkan. Jika terjadi head to
head antara Anies- Ganjar maupun Anies-Prabowo, Anies menang. Anies lawan Ganjar
47,8 % : 43.9 % , Anies lawan Prabowo 48, 6 % : 42,8%, dan Ganjar lawan Prabowo,
47,25 % : 45%.

Kenapa kaget? Dari sisi metodologi, konsep survei dengan metode general to focus
mulai 14 capres, pengecilan ke 7 capres, lalu ke 3 capres dan diakhiri ke head
to head adalah metode reiterasi dan penegasan, di mana responden berjenjang
tanpa keraguan memilih calonnya. Hasil ini sulit diragukan, karena konsistensi
responden dapat menunjukkan reliabilitas alat survei tersebut.

Survei CSIS ini mengambil responden milenial dan generasi Z (umur 18-39 tahun).
Jumlahnya diperkirakan 60% pemilih kita saat ini. Meskipun kita tidak bisa
menarik ekstrapolasi dan membangun kesimpulan untuk seluruh populasi, namun
suara milenial dan suara generasi Z ini adalah suara masa depan Indonesia.

Ini merupakan bukti pembusukan terhadap Anies selama ini, baik dengan isu hukum,
identitas Arab/non-Jawa, gagal membangun Jakarta, tidak mampu menghancurkan
Anies.

Alasan lain penjegalan Anies adalah pandangan geostrategis Anies. Selama ini
Anies terlihat dekat dengan Barat. Berbeda dengan Jokowi yang dekat ke Beijing.
Terakhir terlihat Anies menjadi tamu keluarga Lee, penguasa Singapura, selama 5
hari, beberapa minggu lalu. Menjadi tamu keluarga Lee berbeda dengan beberapa
elit kita yang hanya diundang oleh Rajaratman Institute, Nangyang Technology
University atau lembaga lainnya di Singapura. Diundang keluarga Lee artinya
Anies tidak diragukan oleh barat dan Chinese Overseas Network.

Kedekatan Anies dengan Barat tentu mencemaskan Beijing yang selama ini berusaha
mengendalikan Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya. Menurut Rizal Dharma
Putra, pengangkatan mantan Duta Besar China di Indonesia menjadi Direktur Asia
Kementerian Luar Negeri China, merupakan simbol keseriusan China untuk tetap
mendominasi politik Indonesia. Artinya, kehadiran Anies menjadi sebuah
kecemasan, khususnya ketika pertarungan Barat-Beijing semakin menegangkan di
kawasan ini, dan laut China Selatan.

Ketiga, adanya benturan identitas yang tersimbol pada Anies, sejak pertarungan
Anies melawan Ahok tahun 2017 di Jakarta. Orang-orang yang mengidentifikasi diri
sebagai bukan “identitas Anies” meyakini bahwa Anies adalah ancaman besar bagi
keberlanjutan dominasi mereka dalam era kepemimpinan Jokowi

Tiga alasan penjegalan Anies di atas sebenarnya bukan problem Anies sendiri.
Pertama, kemenangan seseorang dalam bingkai demokrasi adalah tanggung jawab
bangsa ini secara keseluruhan. Upaya rezim Jokowi untuk merusak demokrasi dengan
isu perpanjangan jabatan dan isu tiga periode semakin kemari semakin mengecil.

Terakhir upaya kelompok tersebut menjadikan Jokowi wakil presiden 2024, mungkin
mendampingi Prabowo. Namun, rencana ini tidak mendapat dukungan rakyat. Jikalau
demokrasi dijalankan dan Anies memenangkan pertarungan melawan Ganjar dan
Prabowo, maka itulah pilihan terbaik rakyat. Tentu saja jangan sekali-kali
diintervensi kekuasaan.

Soal geopolitik, Indonesia memang sampai saat ini belum melihat untungnya
bersekutu dengan China. Baik dari sisi pembangunan maupun pengentasan
kemiskinan. Yang berkembang selama ini malah kemiskinan dan pengangguran yang
terus membesar, berkuasanya oligarki, hutang melangit, munculnya kebencian
terhadap ulama, hancurnya demokrasi dan hal-hak asasi manusia serta penangkapan
tokoh-tokoh oposisi (seperti pada saya, dkk) tanpa tuduhan yang jelas.

Sedangkan soal ketiga, yang menyangkut pertarungan identitas, pihak “non-Anies”
harus refleksi diri. Identitas yang terafiliasi dengan Anies adalah identitas
perlawanan terhadap kaum kolonial. Artinya bersifat historis.

Apalagi berbagai tokoh yang tadinya berseberangan dengan Anies, seperti Sunny
Tanujiwidjaja, tangan kanan Ahok, dan Surya Tjandra, tokoh buruh yang membangun
partai PSI, sudah menyatakan mendukung Anies ke depan. Keduanya adalah kelompok
oposit Anies, selama ini. Artinya, urusan identitas ini dapat diselesaikan, jika
mau.

✅ Risiko Memenjarakan Anies
Memenjarakan Anies bisa saja dilakukan jika nafsu kekuasaan dan konspirasi
oligarki tetap menguat. Persoalannya adalah risiko yang akan kita tanggung
bersama. Pertama, Anies adalah kanalisasi kelompok identitas yang selama ini
oposit terhadap rezim Jokowi. Politik kanalisasi sejak dulu kalau diperlukan
untuk meredam gejolak sosial yang besar. Kelompok Islam yang merasa teraniaya
oleh rezim Jokowi selama ini, berpretensi bahwa jalan demokratis masih merupakan
sebuah jalan, dengan Anies sebagai pemimpinnya.

Anies membuat adanya migrasi dukungan politik, dari yang revolusioner yang
didengungkan Habib Riziek, menjadi teknokratis. Jika ini tidak terjadi, maka
gejolak ummat akan bertemu dengan situasi tanpa pilihan, yakni mendukung Habib
Rizieq.

Kedua, risiko atau ancaman ekonomi politik ke depan terlalu besar untuk dihadapi
rezim Jokowi sendiri. Jokowi, Luhut Panjaitan dan Sri Mulyani sudah menyinggung
ini berkali-kali bahwa tahun 2023 kita akan memasuki resesi. Mereka mengatakan
saatnya memperkuat persatuan nasional, solidaritas dan kerjasama menghadapi
ancaman resesi besar.

Dalam pidatonya di puncak Hari Maritim, Luhut Panjaitan mengatakan “Kalau kita
semua kompak, semua kita satu bahasa dalam keadaan yang sangat krusial ini di
mana dunia diramalkan akan memasuki global krisis, perfect storm akan terjadi
dalam beberapa waktu ke depan, kita harus menata negeri kita dengan baik.”
Bahkan Luhut Panjaitan dan anaknya Jokowi, Gibran, mendatangi Rocky Gerung,
tokoh oposisi, untuk menyampaikan pesan perdamaian.

Lalu bagaimana jika Anies dipenjarakan? Tentu saja gelombang oposisi dan umat
Islam tidak bisa menerimanya. Sebab, Anies, selain mendapatkan berbagai
penghargaan nasional, dia juga terlalu banyak menyandang penghargaan
internasional untuk pembangunan yang berhasil dia lakukan. Kasus E-Formula
sangat diragukan unsur korupsinya, berbeda dengan kasus E-KTP, di mana
diberitakan bahwa Ganjar menerima uang suap $500 ribu.

Ketiga, jika Anies dipenjarakan, untuk menjegal Anies atau kriminalisasi
politik, maka tentu saja rezim Jokowi terus menerus meruntuhkan demokrasi. Tidak
ada tanda-tanda Jokowi ingin memulihkan demokrasi. Sejarah yang dibangun Jokowi
akan menjadi sejarah buruk yang dikenang bangsa kita. Tentu Jokowi harus
berubah. Bangsa ini terlalu banyak cacatnya selama Jokowi berkuasa. Satu soal
saja seperti Kasus Sambo, dimana cita-cita supremasi hukum berubah menjadi mafia
hukum, sudah menyita energi bangsa yang besar. Apalagi jika merusak demokrasi.

Anies adalah kanalisasi politik oposisi, khususnya umat Islam. Memilih jalan
demokrasi adalah jalan damai bagi sharing tanggung jawab mengurus bangsa ini.
Namun, memenjarakan Anies atas dasar haus kekuasaan, merupakan jalan kekerasan,
yang akan selalu dikenang sebagai jalan yang keliru. (Sumber:
https://www.inilah.com/mengapa-rezim-jokowi-ingin-anies-baswedan-masuk-penjara-oleh wiguna-taher)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here