Penundaan Pemilu: Persekongkolan Jahat

0
543
OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Trabas.co — Semakin kita ikuti perkembangan wacana penundaan Pemilu, kita makin yakin bahwa negara ini dikelola oleh mereka yang rakus dan haus kekuasaan dan kekayaan tanpa aturan, apalagi etika/moral. Sebab jika kita analisis secara logika, tidak ada dasar yang kuat sehingga Pemilu harus ditunda. Jika alasannya anggaran tidak tersedia, kenapa untuk membangun ibukota negara (IKN) baru sebesar Rp470 triliun dananya ada. Lalu jika alasannya, pandemi Covid-19, Pilkada sebelumnya di mana varian Delta lebih ganas dari Omicron, Pilkada tetap saja jojong.

Jadi apa alasannya? Ya pasti ada yang belum puas berkuasa dan mengeruk kekayaan dari kekuasaan tersebut lalu bersekongkol dengan politisi yang ngebet benar berkuasa dan didorong oleh oligarki. Sediktator-diktatornya Soeharto–sejak berkuasa tahun 1967 hingga tumbang 1998– belum pernah menunda Pemilu. Kalau sampai Pemilu 2024 ditunda, mana yang lebih diktator Jokowi atau Soeharto? Silakan publik jawab sendiri!

Lalu, akhirnya jika jadi Pemilu ditunda dan masa jabatan Presiden diperpanjang hingga tahun 2027, bagaimana dengan penjabat Gubernur/Bupati/Walikota yang diangkat/ditunjuk sejak 2022? Artinya mereka menjadi Gubernur/Bupati/Walikota selama lima tahun tanpa pemilihan—padahal konstitusi mengamanatkan mereka harus dipilih. Termasuk tentunya Gubernur/Bupati/Walikota yang diangkat tahun 2024 dan berkuasa hingga 2027 atau selama tiga tahun.

Kemudian, jika ditinjau secara hukum– karena menurut founding father– negara yang merdeka tanggal 17 Agustus 1945 ini adalah negara hukum (Rechtstaat) bukan negara kekuasaan (Machstaat). Seperti tercantum pada Perubahan Ketiga tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

Agar penundaan Pemilu memiliki dasar hukum yang kuat, apakah MPR akan bersidang untuk mengamandemen kembali UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945? Atau cukup dengan Tap MPR atau keputusan MK. Atau cukup dengan kesepakatan politik para pimpinan parpol pendukung pemerintah?

Jika itu yang terjadi, sampai negara ini bubar dan hancur lebur karena kiamat, anak cucu kita akan tetap mempersoalkan dasar menunda Pemilu 2024. Bahkan jika di padang ma’syar nantinya, warga negara Indonesia masih sempat bertemu dan bercakap-cakap, pasti masih yang dibahas soal penundaan Pemilu 2024 tersebut.

Yang saya sampai tak habis pikir adalah politisi sekelas Zulkifli Hasan mau-maunya ikut mendukung penundaan Pemilu 2024. Padahal, kita semua tahu bahwa PAN lahir sebagai buah reformasi yang harusnya taat dan tegas menjalankan amanat reformasi.

Kalau Airlangga Hartarto jangan ditanya, tentunya akan mendukung maunya Pembina Partai Golkar Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Lalu pihak Golkar juga mungkin sudah berhitung, sulit bagi kader mereka untuk terpilih jika Pemilu digelar tahun 2024. Setalitigawang dengan Muhaimin Iskandar, jelas elektabilitasnya sulit dikatrol sehingga jika masa jabatan Presiden diperpanjang, tentu Jokowi akan membalas budinya dengan mengangkatnya menjadi menteri.

Jika pun Zulhas tidak membuka kartu bahwa keinginan penundaan Pemilu berasal dari LBP, sebetulnya orang awam pun sudah paham jika penundaan pemilu pastilah berasal dari kekuasaan yang bersekongkol dengan oligarki. Sebab dari PDIP sendiri dari awal sudah bersuara lantang menolak wacana penundaan Pemilu. Termasuk Surya Paloh dari Partai Nasdem yang merupakan pecahan dari Golkar juga tegas menolak penundaan Pemilu.

Hanya Partai Gerindra yang mencari selamat dan lebih condong mendukung penundaan Pemilu sehingga kadernya bisa menjadi menteri lima tahun lagi. Sebab jika Pemilu digelar 2024– dan Prabowo tidak mendapat dukungan dari Jokowi karena Jokowi punya calon sendiri– sulit bagi Prabowo untuk mendulang suara. Apalagi suara umat Islam sudah tidak mungkin diraih kembali. Umat sudah menganggap Prabowo bagai, sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tak akan percaya. Kalau PKS jelas dan konsisten dengan sikapnya sebagai oposisi tulen, menolak penundaan Pemilu 2024.

Jika pemilu digelar tahun 2024 maka partai-partai yang menolak penundaan Pemilu akan menjadikan sikap tegasnya berpegang kepada konstitusi dan amanat reformasi sebagai jualan kampanye guna meraup suara. Lalu bagaimana dengan Golkar, PAN dan PKB yang sudah jelas belangnya. Silakan pemilih sendiri yang menghukumnya!

Lalu, kenapa publik juga yakin penundaan Pemilu juga atas dorongan oligarki? Salah satu indikatornya adalah yang pertama mewanakan penundaan Pemilu adalah Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang mengakui secara terus terang usulan tersebut hasil diskusinya dengan kalangan pengusaha.

Tetapi jika kita cermati lebih dalam lagi bahwa berbagai manuver yang dilakukan para penguasa dan politisi semata-mata adalah demi nafsu mereka untuk berkuasa, bukan demi kemaslahatan rakyat Indonesia. Lalu yang konyolnya, dengan “membeli” lembaga-lembaga survei mereka sangka rakyat bisa saja dibodohi dengan mempublikasikan hasil survei bahwa sekitar 78 persen rakyat puas dengan kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin. Sehingga ketika sejumlah pimpinan parpol mendukung penundaan Pemilu, maka rakyat akan mengaminya.

Padahal dari Sabang sampai Meraoke, rakyat menjerit kesulitan mendapatkan minyak goreng, perajin tempe-tahu sampai mogok karena harga kedelai mahal, lantas disusul harga daging sapi melonjak. Bahkan terakhir rakyat kembali dibuat susah karena pemerintah menaikan harga gas elpiji nonsubsidi. Jadi rakyat yang mana yang puas?. (Syafnijal Datuk/Pemred) 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here