Perang Bintang atau Perang Mafia?

0
477

Salam merdeka, Trabas. Co- “No perfect crime” atau tidak ada kejahatan yang sempurna, demikian pernyataan Dr. Edmund Locard, pelopor ilmu forensik dan kriminologi dari Prancis yang terkenal dengan teori Locard Exchange-nya yang digunakan hingga saat ini.

Locard Exchange merupakan sebuah teori bahwa “Every Contact Leaves a Trace” yang dalam Bahasa Indonesia berarti “Setiap kontak yang terjadi akan meninggalkan jejak. Teori ini menjelaskan bahwa siapapun, apapun, atau kedua-duanya yang melakukan kejahatan di lokasi kejadian, akan meninggalkan sesuatu ketika mereka meninggalkan lokasi kejadian.

Maksudnya adalah, apabila seseorang melakukan kejahatan, pasti akan meninggalkan jejak, bisa itu jejak kakinya, potongan rambut, sidik jari, dan lain sebagainya. Yang pasti setiap orang yang melakukan kejahatan, pasti akan bersentuhan dengan apapun dan meninggalkan jejaknya.

Itu pula yang kini mulai terkuak pada kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat sudah lebih sebulan silam. Walaupun terkesan tertatih-tatih karena berbagai batang bukti sudah dimusnahkan atau dirusak oleh sekelompok oknum polisi, namun setahap-demi setahap penyidik bisa membuka tabir yang pada salam merdeka lalu, saya sebut “Skenario yang gagal.”

Jika sebelumnya penyidik berkutat pada pemetaan kasusnya, yang akhirnya disimpulkan pembunuhan berencana, kini penyidik dan publik mengupas motif pembunuhannya. Kalau di dalam kisah-kisah film mafia Hongkong -Triad, mafia Jepang -Yakuza, mafia Italia – Sicilia atau mafia-mafia narkoba di Amerika Latin, memang biasa membunuh anak buah yang berkhianat. Tapi persoalannya di Indonesia, kasus seperti mafia ini terjadi di lingkungan kepolisian dan melibatkan jenderal polisi pula. Namun publik bisa mafhum ketika disebut-sebut sang jenderal adalah “bigbosnya” Satgassus dan kuat dugaan sepak terjangnya tidak jauh berbeda dengan mafia.

Makanya ketika si jenderal berdalih motifnya emosi karena istrinya dilecehkan, kontan saja publik sulit percaya. Pasti ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pelecehan hingga harus menghilangkan nyawa. Padahal si jenderal tentu sudah paham sekali dampaknya. Namun mungkin karena sudah terbiasa merekayasa pembunuhan maka hal itu bukan problem. Bukan kah itu namanya mafia?

Di dunia mafia, untuk menghilangkan nyawa anak buah yang berkhianat cukup mudah, bisa dengan merekayasa sebagai kecelakaan, keracunan, ditembak musuh dan lain-lain. Kalau untuk kasus Yoshua, sebetulnya juga mudah, sehingga tidak perlu melibatkan tangan sang jenderal. Tapi mungkin karena perbuatan Yoshua bisa mematikan karier (masa depan) sang jenderal yakni menjadi Kapolri yang sudah di depan mata, maka ia menjadi kalap atau gelap mata karena merasa dikhianati oleh orang kepercayaannya.

Lalu kembali ke “kejahatan tidak ada yang sempurna”, maka jika benar sang jenderal yang memerintahkan Barada E menembak Yoshua, kenapa setelah menembak Yoshua, ia tidak menembak Barada E agar kedua sama-sama mati sehingga akan lebih mudah merekayasa bahwa kasusnya– memang terjadi tembak menembak di antaranya keduanya. Buktinya, keduanya sama-sama mati. Jika Barada E juga mati tentu tidak mungkin ia bernyanyi dan tidak perlu disogok untuk berbohong.

Tapi karena yang membuat si jenderal marah sampai ke ubun-ubun si Yoshua maka ia yang ditembak mati setelah sebelumnya disiksa untuk mengorek keterangan darinya. Tentu informasi dari Yoshua akan sangat menentukan langkah selanjutnya.

Jadi pertanyaan besarnya, jika benar Yoshua membocorkan rahasia, apa motifnya? Sebab, ia tentu paham sekali bahwa jika sampai ketahuan oleh bosnya maka nyawa taruhannya. Kenapa ia nekad? Dan memang menurut pengacaranya, Yoshua sudah pernah diancam akan dibunuh oleh skuad lama. Ini tentu menjadi misteri tersendiri.

Kalau benar Yoshua memboborkan rahasia, apakah ia diiming-imingi atau terperangkap sebagai upaya menjatuhkan si bos jenderal. Maklum posisi sebagai Ketua Satgassus bukan lagi basah tetapi tajir–banjir cuan. Tentu saja bukan satu dua jenderal yang mengincar jabatan tersebut dan di belakangnya bisa jadi mereka juga disokong para mafia. Jadi sejatinya kasus Yoshua, apakah perang “bintang” menuju kursi Trunonojo-1 atau memang perang mafia untuk mengganti bos Satgassus.

Apalagi sebagaimana diungkap pengacara keluarga Yoshua, setelah kematian korban dana tabungannya yang disebut dana taktis dari empat rekening bank berbeda sekitar Rp200 juta juga berpindah tangan. Sulit dipercaya seorang barada memiliki tabungan ratusan juta kalau hanya dari gajinya.

Tetapi bukan penulis skenario andal jika tidak mampu menulis skenario baru. Jika sebelumnya disebutkan terjadi pelecehan seksual terhadap istrinya di TKP, kini setelah ditetapkan menjadi tersangka, ia berdalih kasusnya tidak jauh-jauh berbeda dengan skenario sebelumnya, tetapi TKP-nya di Magelang. Untuk menelusuri kebenaran pengakuan sang jenderal, timsus bentukan Kapolri ikut terjun ke Magelang. Belum dieskpose apakah memang ditemukan bukti-bukti kuat, berupa CCTV, saksi dan bukti pendukung lainnya yang mendukung pengakuan si jenderal.

Namun yang membuat publik juga tidak abis pikir, kenapa sang istri masih belum diperiksa dan tidak jelas statusnya. Kalau memang secara psikologis belum siap diperiksa, tolong jelaskan rekomendasi psikiater/psikolog yang menyatakan, secara psikologis yang berangkutan tidak sehat. Atau rekomendasi dokter ahli yang menyatakan, yang bersangkutan sakit sehingga tidak bisa diperiksa.

Sebab yang bersangkutan merupakan saksi kunci, baik pembunuhan Yoshua atau pengakuan sang jenderal soal pelecehan. Sementara setidaknya 63 polisi yang diduga menjalankan skenario sang jenderal sudah diperiksa dan 16 di antaranya ditempatkan di tempat khusus (patsus), enam personel di Mako Brimob Polri dan 10 polisi di Provos Mabes Polri.

Menyimak perjalanan kasus pembunuhan Yoshua ini, semakin meyakinkan publik bahwa si jenderal memang memiliki kartu truf sehingga diduga sulit bagi penyidik untuk membuka tabir kasus ini menjadi terang-benderang. Apalagi konon kabarnya, ketika akan ditetapkan tersangka saja si jenderal mengancam akan membuka kartu trufnya.

Dan memang sebelum penetapan si jenderal menjadi tersangka, Kapolri melapor ke Presiden. Apakah soal rencana penetapan tersangka ini yang dilaporkan, wallahua alam. Tapi besar kemungkinan iya, karena memang sebelumnya Presiden sampai empat kali memerintahkan agar kasusnya dibuka secara terang-benderang, jangan ada yang ditutup-tutupi.

Dan juga sunyinya respon wakil rakyat dari Komisi III DPR-RI soal kasus besar yang menghebohkan seantero negeri ini juga menjadi tanda tanya besar. Sebab selama ini kasus-kasus kecil saja, para politisi Senayan ini brkoar-kaor. Ada apa?

Karenanya makin kuat dugaan publik bahwa ada “mafia” yang mengendalikan kasus besar ini. Bisa mafia narkoba, mafia judi atau mafia yang lain. Kita tentu tidak rela “persekongkolan jahat” antara oknum-oknum jenderal polisi dengan berbagai mafia menghancurkan negeri kita, seperti banyak terjadi di negara-negara Amerika Latin.

Sebagai rakyat Indonesia kita cinta dengan Polri yang bersih dan berwibawa dan dengan pajak yang kita bayarkan mereka menjalankan tugasnya mengamankan dan menjaga ketertiban masyarakat. Semoga kebenaran akan terungkap!. Sebagaimana Allah SWT berfirman pada surat Ali Imran ayat 54 yang berbunyi: Dan mereka membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (Syafnijal Datuk/Pemred)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here