Permendikbud Legalisasi Seks Bebas, Ditolak Majelis Ormas Islam

0
433

TRABAS.CO–Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim, menerbitkan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Ketentuan itu menuai kritik karena dinilai justru bisa legalkan seks bebas di kampus.
Adalah Majelis Ormas Islam (MOI) yang terjadi dari 13 ormas Islam –tak termasuk PBNU dan Muhammadiyah — yang meminta agar Permendikbud itu dicabut.

“MOI menilai bahwa Permendikbudristek tersebut secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinahan dan dengan demikian akan mengubah dan merusak standar nilai moral mahasiswa di kampus, yang semestinya perzinahan itu kejahatan malah kemudian dibiarkan,” ucap Ketua MOI, Nazar Haris, dalam rilisnya, Senin (2/11).

Menurut Nazar Haris, di antara poin yang dikritisi dan ditolak oleh MOI antara lain terkait paradigma seks bebas berbasis persetujuan (sexual-consent) yang memandang bahwa standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual bukan nilai agama, tapi persetujuan dari para pihak, selama tidak ada pemaksaan, telah berusia dewasa, dan ada persetujuan, maka aktivitas seksual menjadi halal, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah.

“Permendikubud ini juga menurut MOI berpotensi memfasilitasi perbuatan zina dan perilaku penyimpangan seksual LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender),” ujarnya.

(MOI) yang beranggotakan 13 ormas Islam meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk mencabut dan membatalkan Peraturan Menteri No.30 tahun 2021 tentang Pencegahan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi tersebut.

Dalam rilis itu disebutkan 13 anggota MOI, yaitu Persatuan Umat Islam (PUI), Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Syarikat islam (SI), Mathla’ul Anwar, Al Ittihadiyah, Al Washliyah, Persatuan Islam (PERSIS), Wahdah Islamiyah, Al Irsyad Al Islamiyah, Hidayatullah, Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).

Ketentuan Permendikbud
Permendikbud No 30/2021 diteken oleh Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 dan diundangkan pada 3 September 2021. Pertimbangan disusunnya Permendikbud itu antara lain semakin meningkatnya kekerasan seksual yang terjadi pada ranah komunitas termasuk perguruan tinggi.

Dalam Permendikbud No 30/2021, kekerasan seksual pada beberapa kondisi diartikan sebagai “tanpa persetujuan korban”. Tertuang dalam Pasal 5, di antara definisi kekerasan seksual itu adalah:
– memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
– mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
– menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
– menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban;
– membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban;

Pada bagian lain dijelaskan:
(3) Persetujuan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal korban:
a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. mengalami situasi di mana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
f. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
g. mengalami kondisi terguncang.

Berikut 12 sikap MOI:
1. Menolak Permendikbudristek ini karena secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinahan dan dengan demikian akan mengubah dan merusak standar nilai moral mahasiswa di kampus, yang semestinya perzinahan itu kejahatan malah kemudian dibiarkan.

2. Mengingatkan bahwa tujuan pendidikan sebagaimana diamanahkan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

3. Terlihat sangat nyata bahwa Permendikbud Ristek No. 30 tahun 2021 mengadopsi draft lama Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang telah ditolak masyarakat luas dan DPR pada periode 2014-2019 karena jelas bertentangan dengan Pancasila.

4. Sebagaimana landasan filosofis draf lama RUU P-KS, hal yang sama jelas tersurat dalam Permendikbud Ristek No. 30 tahun 2021, yakni paradigma sexual-consent. Paradigma ini memandang bahwa standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi agama tetapi berganti kepada persetujuan dari para pihak. Selama tidak ada pemaksaan, selama telah berusia dewasa, dan selama ada persetujuan, maka aktivitas seksual menjadi halal, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah. Termasuk perilaku yang dianggap tidak bermasalah adalah persetujuan untuk membuka pakaian seseorang, mengusap dan meraba seseorang, membuat konten video porno, hingga melakukan transaksi dan aktivitas seksual. Jelas hal ini sangat bertentangan dengan moralitas berbasis Pancasila.

5. Praktik Zina dan LGBT adalah salah satu sebab utama maraknya tindak kejahatan seksual terhadap perempuan maupun anak-anak selama ini, maka dengan terbitnya Permen Dikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini justru malah berpotensi memfasilitasi berkembangnya praktik ini.

6. Penggunaan definisi relasi kuasa dan relasi gender jelas tidak diambil dari Pancasila, melainkan diambil dari konstruksi berpikir Barat seperti Marxisme yang bertentangan
7. dengan fitrah penciptaan manusia. Tuhan telah menciptakan jenis kelamin (sex), adapun gender adalah orientasi seksual yang boleh berbeda dari jenis kelamin, maka konsep gender yang diterima luas di Barat, tidak kompatibel dengan moralitas ketimuran di Indonesia.

8. Penderita LGBT adalah pasien yang harus dibantu kesembuhannya melalui Lembaga Konseling. Menjadi tugas negara untuk memfasilitasi konseling di tingkat pendidikan tinggi sehingga setiap manusia dapat hidup sesuai fitrah kelahirannya. Oleh karenanya, upaya Pendidik atau Tenaga Kependidikan dan masyarakat kampus yang berusaha meluruskan penyimpangan orientasi seksual haruslah mendapatkan apresiasi dan dukungan penuh, bukan malah berpotensi dikriminalisasi sebagaimana pasal 1 ayat 1 yang berbunyi: “Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban…”. Jangan sampai upaya pendidikan berbasis fitrah manusia dianggap melakukan ‘kekerasan seksual’ hanya karena dianggap “mendiskriminasi identitas gender seseorang”.

9. Mengingatkan pemerintah bahwa identitas gender jika mengacu pada definisi WHO (https://www.who.int/health-topics/gender#tab=tab_1) sangat jelas membuka karpet merah bagi LGBT: “Gender identity refers to a person’s deeply felt, internal and individual experience of gender, which may or may not correspond to the person’s physiology or designated sex at birth”. (Identitas gender merujuk kepada perasaan terdalam seseorang, internal dan pengalaman gender secara individual, yang boleh atau tidak boleh dikaitkan dengan keadaan psikologi atau jenis kelamin tertentu ketika lahir). Definisi ini jelas bertentangan dengan kodrat manusia yang sudah ditentukan jenis kelaminnya oleh Allah S.W.T sejak kelahiran seorang manusia di dunia ini.

10. Permendikbud Ristek ini juga berpotensi melahirkan praktik ‘monopoli’ khususnya dalam bab pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang cenderung memihak kepada gerakan feminisme radikal dan secara otomatis telah memarginalkan peran ulama, organisasi berbasis keagamaan, keluarga dan bahkan menganggap para pendidik di pendidikan tinggi tidak kompeten dalam menangani berbagai persoalan terkait seksualitas dan dalam melakukan penanaman nilai-nilai agama dan moralitas. Hal ini terlihat pada pasal 24 ayat (4) yang berbunyi: “Anggota panitia seleksi sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat: a. pernah mendampingi Korban Kekerasan Seksual; b. pernah melakukan kajian tentang Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas; c.pernah mengikuti organisasi di dalam atau luar kampus yang fokusnya di isu Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas; dan/atau d. tidak pernah terbukti melakukan kekerasan termasuk Kekerasan Seksual…”.

11. Permendikbud Ristek ini juga berpotensi menyebarkan pemikiran kebebasan seksual selama dilakukan secara aman melalui penggunaan kondom dan seks sehat meski dilakukan di luar pernikahan melalui apa yang berkembang di dunia sebagai Comprehensive Sexuality Education (CSE) sebagai bagian yang selalu terikat dengan Model Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dalam paradigma Barat, sebagaimana pasal 6 ayat (2) disebutkan : “..mewajibkan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan untuk mempelajari modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan oleh Kementerian”.

12. Dunia pendidikan adalah benteng terakhir dalam menjaga moralitas bangsa dari serbuan pemikiran asing yang merusak nilai-nilai Pancasila di NKRI. MOI masih percaya bahwa Kemendikbud Ristek sangat peduli dalam persoalan ini dalam pengembangan regulasi pendidikan di NKRI. MOI mendukung segala upaya penghilangan dampak negatif dari aktivitas seksual, tapi dengan cara yang lebih komprehensif sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, sehingga kalimat ‘Kekerasan Seksual’ dapat diganti dengan ‘Kejahatan Seksual’ yang lebih kompatibel dengan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan mencakup berbagai bentuk perzinahan yang telah dilarang agama, sebagai wujud Berketuhanan Yang Maha Esa dan Berkemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Dengan demikian, MOI meminta kepada Mendikbud Ristek untuk mencabut Permendikbud Ristek No 30 tahun 2021 atau digantikan dengan aturan baru yang sejalan dengan jiwa dan nilai-nilai Pancasila dan dalam pembahasannya melibatkan organisasi keagamaan yang juga menjadi stakeholder dalam pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia, agar setiap peraturan yang keluar dapat berlaku efektif karena telah sesuai dengan norma-norma masyarakat Indonesia yang ber-Pancasila. (ermc/red)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here