Rektor Koruptor dan Kegagalan Revolusi Mental

0
466

Trabas.co – REKTOR Universitas Lampung, Profesor Karomani, petinggi organisasi keagamaan tertentu, ditangkap KPK beberapa hari lalu, karena menjual “kursi masuk” mahasiswa jalur mandiri seharga Rp 100-350 juta per calon mahasiswa.

Profesor ini terkenal juga selama ini sebagai tokoh forum rektor yang mempropagandakan kampus bebas dari radikalisme. Karena menurutnya radikalisme
adalah ancaman yang saat ini paling membahayakan di lingkungan kampus.

Kita harus mengapresiasi KPK untuk penangkapan ini. Meskipun nilai rupiahnya
tidak seperti kasus Apeng yang bernilai triliunan maupun ketika kita kecewa KPK
tidak berani atau tidak siap melanjutkan pemeriksaan kasus dugaan KKN anak
Jokowi yang dilaporkan Ubedilah Badrun.

Kenapa perlu diapresiasi? Karena penangkapan kaum profesor dari sebuah
universitas yang dibiayai negara, merupakan simbolis penanganan kasus hancurnya
moralitas bangsa kita. Alasan lainnya, sebagai pendukung militan Jokowi,
profesor ini harusnya dapat merupakan “banchmark” keberhasilan atau kegagalan
Revolusi Mental Jokowi.

Universitas dan Suksesnya Sebuah Bangsa
Universitas sepanjang sejarah dipercaya sebagai pusat peradaban manusia. Baik
ketika dahulu kala namanya Academy di era Plato, di Athena, Yunani atau
Madrasah, di jaman Al Ghazali mengajar di Baghdad, semuanya dimaksudkan untuk
memproduksi manusia cerdas, berintegritas dan memuliakan tujuan kehidupan.

Perdebatan dan riset tentang demokrasi, hak-hak manusia, sistem pemerintahan,
tentang alam semesta serta penemuan sains dan teknologi menjadi kekayaan
universitas, sehingga ia di percaya untuk mendidik manusia menjadi manusia
sejati.

Universitas juga dipercaya oleh sebuah bangsa untuk menjadi referensi nilai bagi
pembangunan bangsa tersebut. Misalnya, universitas selalu diminta oleh negara
dalam memproduksi atau mengevaluasi sebuah undang-undang.

Sebab, tanpa kehadiran kaum cendikiawan dalam hadirnya sebuah produk hukum,
moralitas hukum tersebut masih dapat dipertanyakan. Begitu juga ketika negara
membutuhkan riset yang sangat serius untuk sebuah produk strategis, seperti
energi nuklir dan lainnya.

Kesuksesan sebuah bangsa seringkali diukur dengan suksesnya universitas di
negara tersebut. Atau setidaknya kita dapat melihat korelasi kesuksesan sebuah
bangsa dengan majunya universitas di negara itu. Sebuah kondisi paralel.

Negara yang mempunyai banyak universitas dalam ranking tinggi global umumnya
negara maju, sebaliknya juga terjadi. Indonesia dibandingkan Malaysia, apalagi
Singapura, mempunyai universitas yang rankingnya jauh lebih rendah, paralel
dengan negaranya yang lebih tertinggal.

Dengan demikian, sangatlah wajar jika universitas menjadi tumpuan harapan
manusia, keluarga dan juga sebuah bangsa. Sehingga, jika universitas itu
terlihat gagal menjalankan misinya, kekecewaan besarpun akan datang.

Rektor Koruptor, Mengapa?
Korupsi yang dilakukan rektor Unila ini adalah jenis yang paling sadis. Korupsi
yang lebih rendah kebiadabannya bisa terjadi pada korupsi pengadaan barang.
Karena umumnya jejaring atau broker kekuasaan memang membuat keadaan terpaksa
seseorang pejabat publik harus korupsi.

Beberapa universitas swasta kaya dapat memiliki peralatan laboratorium yang
canggih dibandingkan universitas negeri, karena kesulitan pejabat publik
berhadapan dengan calo-calo projek. Padahal negara sudah mengalokasikan dana
untuk itu.

Namun, mengkorupsi dengan model Rektor Universitas Lampung ini, yakni meminta
uang kepada calon mahasiswa, telah menghancurkan prinsip-prinsip keutamaan
moral, menghancurkan kepercayaan diri mahasiswa untuk menjadi SDM andal
dikemudian hari dan merusak reputasi universitas itu sendiri.

Program penerimaan mahasiswa mandiri sebenarnya mempunyai banyak manfaat.
Pertama, universitas tidak terjebak pada penyeragaman tersentralisasi, seperti
era Sipenmaru tahun 1980-an. Kedua, universitas memberikan kesempatan kedua
kepada calon mahasiswa yang gagal dalam saringan pertama.

Kesempatan kedua secara teoritis diharapkan mampu memberikan penyempurnaan pada
kemungkinan kegagalan sistem penerimaan disaringan pertama. Misalnya, ada saja
calon mahasiswa genius yang terhalang masuk pada saringan pertama.

Bagaimana dengan biaya jalur mandiri? Sebenarnya, ketika kampus kesulitan
mencari pembiayaan dari negara maupun upaya kampus menambah kemampuan pembiayaan
sendiri, wajar saja saringan ala jalur mandiri dikaitkan dengan sumbangan calon
mahasiswa.

Namun, tentu saja itu bukan syarat mutlak. Syarat mutlaknya adalah kemampuan
akademik dan IQ sang calon tersebut. Dan uang yang diperoleh tentu saja untuk
universitas, buka pribadi rektor dan kawan-kawannya.

Lalu kenapa rektor ini korupsi? Hal ini tentu merupakan kerusakan mental.
Pertama, di lingkungan universitas negeri, di bawah jajaran Kemendikbud, belum
terdengar kabar adanya biaya suksesi yang mahal untuk menjadi rektor.

Model biaya mahal umumnya terjadi untuk kursi kekuasaan eksekutif dan
legislatif. Tapi, ini juga mungkin mulai berubah? Kedua, seorang rektor dan
sebagai profesor, seharusnya dia sudah hidup lebih dari cukup. Bahkan, seorang
profesor masih mendapatkan tunjangan negara sampai usia tua.

Lalu apa motivasi rektor koruptor? Ini perlu penyelidikan serius, bisa jadi
karena rektor ini korban projek Revolusi Mental?

Gagalnya Revolusi Mental
Jokowi membawa ide, semangat dan api “Revolusi Mental” ketika kampanye menjadi
presiden. Menurut situs pemerintah, “Revolusi Mental adalah suatu gerakan untuk
menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih,
berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.”
(Kominfo.go.id).

Dan, “Revolusi mental Jokowi ditandai dengan prinsip integritas, etos kerja dan
gotong royong.” (situs Kemendikbud). Pemerintah mengalokasikan biaya untuk ide ini terwujud, khususnya dalam pelatihan pelatihan dan pendidikan (Diklat) yang diberikan kepada aparatur negara.

Penangkapan Rektor Unila yang menjijikkan ini telah menunjukkan adanya kegagalan
Revolusi Mental di dunia pendidikan. Ini memang baru sebuah indikator.

Namun, indikator ini sangat penting mengingat keterlibatan rektor dan pimpinan
universitas perguruan tinggi negeri dengan model korupsi yang biadab. Apalagi
rektor tersebut petinggi organisasi keagamaan dan promotor utama anti
radikalisme di kampus.

Bisa jadi, modus korupsi penerimaan mahasiswa baru ini sudah berkembang lama dan
terjadi diberbagai perguruan tinggi negeri lainnya. Ade Armando, misalnya,
pernah mengatakan bahwa mahasiswa di kampusnya mengajar, banyak yang berbayar,
alias diterima masuk karena uang, bukan IQ dan kapasitas.

Lalu bagaimana nasib Revolusi Mental ini? Setelah 8 tahun Jokowi presiden?
Kasus penangkapan Rektor Koruptor ini bukanlah satu-satunya indikasi kegagalan
Revolusi Mental. Kita melihat sebelumnya kasus Ferdy Sambo, penegak hukumnya
penegak hukum alias Provos dari institusi utama penegakan hukum pun telah
menunjukkan kegagalan Revolusi Mental ala Jokowi.

Belum lagi banyaknya deretan kasus-kasus korupsi dan moralitas kekuasaan saat
ini. Untuk itu, maka kita melihat Revolusi Mental ala Jokowi sudah gagal.

Lalu What’s Next?
Kegagalan Revolusi Mental Jokowi perlu ditindaklanjuti dengan adanya sebuah
upaya baru dalam memperbaiki mentalitas bangsa yang sedang terpuruk ini. Apakah
melalui konsep Revolusi Akhlak ala Habib Rizieq diperlukan ke depan? Kita harus
kaji.

Tapi setidaknya kita sudah saatnya mengatakan bubarkan Revolusi Mental ala
Jokowi. (Dr. Syahganda Nainggolan Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle/rmol)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here