Runtuhnya “Benteng” Ranah Minang

0
3974

Salam merdeka, Trabas.co – Untuk mengetahui apakah pemudik yang melewati Jalan Lintas Tengah Sumatera dari Lampung menuju Sumut sudah sampai di Sumatera Barat cukup mudah menandainya. Apa gerangan? Ketika di kedua sisi-sisi jalan raya sudah tidak ditemui lagi toko Indomaret dan Alfamart, itu artinya sudah memasuki wilayah Sumatera Barat.

Kebanggaan tersebut bakal tinggal kenangan seiring berkembangnya jaringan minimarket Nagarimart di berbagai daerah di Sumbar yang menurut para pedagang ritel dan tradisional di Sumbar terafiliasi dengan Alfamart—toko berjaringan nasional yang sudah merambah hampir ke seluruh wilayah Indonesia .

Kabarnya perjuangan kawan-kawan pedagang ritel/tradisional termasuk grosir dan pasar swalayan besar dalam menolak keberadaan jaringan minimarket Nagarimart kurang kompak. Terdapat sejumlah pengusaha swalayan/supermarket besar yang sudah eksis di Padang dan kota-kota lainnya merasa sudah hebat. Mungkin mereka yakin, “Ah Nagarimart itu kecil dan tidak mungkin menggoyahkan kami yang sudah besar dan kami juga sudah membuka minimarket-minimarket di berbagai pelosok.”

Keyakinan mereka tersebut cukup beralasan dan memang dari sisi permodalan, jaringan dan pelanggan sudah dimiliki semua. Tapi mereka lupa, untuk mengintrospeksi/mengkaji/menganalisa, kenapa Indomaret dan Alfamart cepat menggurita dan mampu mengalahkan supermarket/minimarket lokal yang sudah terlebih dahulu eksis?

Karena mereka (Indomaret dan Alfamart) selain memiliki jaringan toko juga memiliki pabrik yang memproduksi barang yang dijual di supermarket mereka. Jadi pertanyaannya, apakah supermarket-supermarket besar di Padang juga punya pabrik aneka makanan/minuman dan kebutuhan rumah tangga sekelas Indofood, Wingfood, ABC Food, Unilever, Mayora dan lain-lain?

Jika tidak atau belum punya. Mari kita lihat sejarah ke belakang. Silakan melakukan studi banding ke Palembang dan Lampung—tidak usah ke Jawa. Di era 90 sampai 2010-an di Palembang terdapat sejumlah supermarket “gede” yang dimiliki pengusaha lokal dan luar. Di antaranya, Megahria, International Plaza, Hero, Pasar Raya JM, Pulau Mas Plaza, Pasar Raya Maraton, Dika Shoping Center.

Setelah 10 tahun kemudian (2020)—terutama setelah jaringan Indomaret dan Alfamart—merajai Sumsel, silakan cek sendiri dari tujuh supermarket besar tersebut mana yang masih eksis—menjual produk-produk aneka makanan/minuman/kebutuhan rumah tangga, seperti Indomaret dan Alfamart. Paling tinggal beberapa dan itu pun hanya menjual aneka pakaian, sepatu dan peralatan sekolah dan mainan anak-anak.

Setalitigawang dengan Lampung. Hingga 2010, masih ada Artomoro, King Supermarket yang merupakan terbesar dan pelopor dan Chandra Supermarket. Kini tinggal Chandra Supermarket yang masih mampu bersaing dengan jaringan Indomaret dan Alfamart. Namun Chandra tidak saja digempur melalui Indomaret dan Alfamart, tetapi juga dengan jaringan supermarket besar yakni Superindo. Bahkan supermarket sekelas Giant saja angkat kaki dari Lampung. Masih belum cukup, grup Indomaret “melumpuhkan” grosir-grosir lokal melalui Indogrosir.

Bagaimana mungkin jaringan Indomaret tidak berkembang pesat di Lampung karena pabrik aneka makanan milik Indofood berada di Tanjungbintang, Kabupaten Lampung Selatan—hanya berjarak 30 km sebelah timur Kota Bandarlampung– lokasi puluhan toko Indomaret berada.

Jadi sangat wajar jika harga Indomie dan produk Indofood lainnya di Indomaret paling murah. Pada saat ekonomi sulit dan semua harga barang naik, perbedaan harga Rp500 hingga Rp1000/item barang, menjadi pertimbangan utama bagi ibu-ibu dalam berlanja. Meski para ulama/tokoh agama selalu menganjurkan umat agar berbelanja di warung tetangga sesama Muslim meski harganya lebih mahal. Tetapi dengan pendapatan yang keluarga makin menurun dan terbatas, sementara harga kebutuhan yang terus naik, sulit untuk bertahan belanja di warung tetangga.

Lalu masyarakat Sumbar, saya yakin juga masih ingat dengan berbagai cara yang dilakukan James Riady—Grup Sinar Mas berjuang untuk masuk ke Sumbar guna membangun pusat grosir di Bukittinggi dan hotel/rumah sakit/mall di Padang.

Selama ini memang rakyat Sumbar yakin dan percaya dengan para bupati/walikota dan gubernur yang mereka pilih akan berpihak kepada rakyat. Kelemahannya proteksi agar Indomaret dan Alfamart agar tidak masuk ke Sumbar hanya berupa kesepakatan bukan Perda di masing-masing kabupaten/kota.

Apalagi dengan sistem pilkada yang padat modal sekarang maka bukan tidak mungkin dalam pilkada, para calon kepala daerah dimodali oligarki. Maka jangan disalahkan ketika terpilih pasti ada politik/kebijakan balas budi. Kondisi ini sudah kasat mata terjadi di Tanah Air kita. Menjelang pilkada serentak akhir tahun 2020, Menkopolhukam Prof Mahfud MD pun sudah menyatakan, sekitar 90 persen calon kepala daerah di Indonesia dimodali oligarki.

Lalu rakyat yang pendidikannya kurang akan menyambut calon kepala daerah yang menebar sembako. Mereka tidak sadar bahwa jika calon yang dimodali oligarki tersebut memimpin, bukan saja sawah dan ladang yang bakal “dijualnya” pintolak-pintolaknya pun bakal dilegonya. Bukankah filosofi adat Minang sudah mengingatkan, ”Mancaliek ka dan sudah, baraja ka nan pandai dan baguru ka nan manang. Alam takambang jadi guru.”

Sekarang satu benteng, yakni ritel sudah rubuh. Tinggal Indogrosir yang di Padang nanti namanya mungkin disulap menjadi Minanggrosir yang bakal masuk. Kalau keduanya sudah dikuasai, lalu anak cucu urang Minang mau dagang apa lagi?. Sementara untuk dagang “kaki limo” pun sudah dikuasai pesaing melaui media sosial Tiktok dan Facebook? Bukankah pepatah sudah mewanti-wanti, “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh! (Syafnijal Datuk Sinaro/Pemimpin Redaksi)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here