Tritura Jilid 2

0
379

Saya baru saja membaca ciutan ustadz Felix Siauw di IG-nya yang mengungkapkan percakapan seorang pengemudi dengan petugas SPBU. Si pengemudi bertanya kepada petugas SPBU: “Pertalitenya kosong Mas? Jawab petugas: “Masih dalam perjalanan”. “Naik apa?”: tanya si pengemudi, lalu dijawab ketus oleh petugas: “Ya naik truk tangki lah.”

“Kok nggak datang-datang,” tanya pengemudi kesal. Lalu dijawab lagi oleh petugas: “Truknya lagi ngantre solar Mas.”

Tidak sampai di situ, nitizen lain berebut melanjutkan percakapan ini di SPBU tempat truk tangki mengantre solar. Akun IG Gunawan menulis: “Kok truknya ditinggal, sopirnya kemana?  Lalu dijawab petugas SPBU: “Lagi ngantre makan.” Lalu ditanya pengemudi lagi: “Kok makan ngantre?” Petugas: “Yang masak lagi ngantre minyak goreng.”

Ciutan tersebut disambung lagi oleh akun IG Darman: “Yang jual minyak goreng lagi ngantri gas melon.”

Jadi, jika kita cermati itulah kondisi riil yang dihadapi rakyat Indonesia saat ini. Bahkan bisa bertambah parah ke depannya. Pasalnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, sudah memberi sinyal akan adanya kenaikan bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite menyusul kenaikan harga pertamax.

Bukan saja pertalite, kenaikan pada gas LPG 3 kilogram juga akan menyusul. “Over all, yang akan terjadi itu Pertamax, Pertalite, Premium belum, gas yang 3 kilo itu (adaokenaikan) bertahap,” ujar Luhut di Bekasi, Jumat 1 April 2022.

Luhut bilang, kenaikan BBM akan dilakukan secara bertahap. Pada April ini adanya kenaikan pertamax, bulan berikutnya disusul pertelite hingga gas LPG 3 kilogram. Kenaikan itu dilakukan bertahap hingga pada Desember 2022. “Jadi nanti Juli, nanti bulan September. Itu semua bertahap dilakukan oleh pemerintah,” ujarnya.

Luhut mengatakan, gas LPG sejak tahun 2007 belum pernah ada kenaikan harga. Untuk itu pemerintah akan menaikkan harganya. “Seperti gas 3 kilo ini dari 2007 enggak pernah naik, kan enggak fair juga,” ucapnya.

Bagi rakyat yang juga merasakan hidup di era Orde Lama, tentu kondisi ini buakn hal baru. Bahkan kondisi sekarang belum seberapa dibandingkan dengan ketika Indonesia dipimpin oleh Presiden Seumur Hidup Ir Soekarno. Saat itu, kondisinya lebih parah lagi, justru beras yang sulit dan rakyat terpaksa makan sagu dan jagung.

Saya pun masih ingat hingga tahun 1966—setahun setelah PKI melakukan kudeta– paman saya terpaksa menebangi pohon aren sudah tua untuk diambil sagunya. Padahal sebelumnya di kampung kami sagu hanya digunakan untuk pakan kuda. Sagu tersebut dibakar, digoreng dan dibuat kolak untuk makan pagi dan siang. Sementara beras paling dimasak untuk makan malam saja atau makan nasi hanya sekali sehari. Itu pun jika ada.

Saaat itu saya juga masih sempat membaca Majalah Sket Massa edisi tahun 60-an yang ada foto Presiden Soekarno berpidato mengajak  rakyat makan nasi jagung. Setelah saya baca beritanya, saat itu Indonesia dalam kondisi konfrontasi dengan Malaysia dan negara sedang krisis pangan. Namun meski rakyat sedang susah dan negara kesulitan keuangan, toh Presiden masih memaksakan diri membangun Monas dan Gelanggang Olah Raga Senayan di Jakarta yang menghabiskan anggaran negara cukup besar.

Kini kita akui atau pun tidak, situasinya mulai mengarah seperti era Orla tersebut. Baru-baru ini, Wapres Ma’ruf Amin juga mengajak rakyat Indonesia makan pisang pengganti nasi. Ketua Umum PDIP Prof  Megawati pun mengajak ibu-ibu untuk tidak memasak menggunakan minyak goreng. Lalu Presiden Jokowi memaksakan diri untuk menjalankan program pindah ibukota ke Kaltim yang membutuhkan dana hampir Rp500 triliun.

Indikasi ke arah rezim diktator dan fasis pun sudah kian tampak. Jika pada era Orla, Soekarno dijadikan presiden seumur hidup, saat ini Jokowi juga “ngotot” menjadi presiden tiga periode—apapun caranya, baik dengan menunda Pemilu 2024 atau merevisi konstitusi—selangkah lagi untuk seumur hidup. Lalu, jika pada Orla, PKI di mana-mana, maka kini kebangkitan PKI semakin nyata.

Terakhir Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, mempersilakan keturunan PKI untuk menjadi anggota TNI. Jika pada Orla ada Nasakom (nasional, agama dan komunis), kini selain parpol dan buyut komunis juga ikut membonceng oligarki. Pada masa Orla umat Islam digebuk tiap hari, ulama dipenjarakan dan parpol/ormas Islam dilucuti, kini silakan pembaca rasakan dan catat sendiri.

Melihat dan merasakan kondisi sekarang, maka kita menjadi ingat dengan peristiwa

sejarah Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) tanggal 10 Januari 1966. Saat itu ribuan mahasiswa dan rakyat Indonesia berdemo yang ditujukan kepada pemerintahan Presiden Soekarno sebagai dampak tragedi berdarah Gerakan 30 September (G30S) 1965.

Rezim Orde Lama dianggap tidak tegas terhadap PKI sebagai salah satu unsur utama terjadinya peristiwa G30S 1965 yang menewaskan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat. Maka, pada 10-13 Januari 1966, terjadi gelombang demonstrasi di Jakarta. Terdapat Tritura atau (Tiga Tuntutan Rakyat) yakni: 1 Bubarkan Partai Komunis Indonesia atau PKI; 2 Rombak Kabinet Dwikora; dan 3 Turunkan Harga.

Tuntutan  pertama: pembubaran PKI. Saat itu, pemerintahan Soekarno dianggap terlalu lambat mengambil sikap terhadap orang-orang PKI yang dianggap terlibat dalam peristiwa G30S 1965. Terlebih, masih ada beberapa tokoh komunis yang berada di kabinet.

Tuntutan  kedua: pembubaran Kabinet Dwikora. Alasan yang mendasari tuntutan ini adalah bahwa pemerintah dinilai tidak mampu mengendalikan kestabilan politik, sosial, dan ekonomi yang merosot.

Soekarno dianggap lebih mementingkan urusan konfrontasi Indonesia dengan Malaysia dan usaha merebut kembali Irian Barat. Selain itu, masih ada orang-orang berhaluan kiri dari PKI yang duduk di Kabinet Dwikora. Mahasiswa dan rakyat yang kontra dengan haluan komunis mendesak agar orang-orang PKI segera dibersihkan dari pemerintahan.

Tuntutan  ketiga: turunkan harga. Tuntutan ini dipicu oleh kebijakan ekonomi yang dianggap kurang tepat sehingga membuat perekonomian negara memburuk, termasuk dengan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Usai penyampaian Tritura oleh massa-mahasiswa, pada 21 Februari 1966 Presiden Soekarno melakukan reshuffle kabinet. Namun orang-orang yang duduk di kabinet tidak sesuai yang dikehendaki oleh para pengunjukrasa. Soekarno masih melibatkan orang-orang beraroma kiri.

Tiga hari kemudian, atau 24 Februari 1966, para mahasiswa memboikot pelantikan menteri-menteri baru. Mereka kembali berdemonstrasi hingga akhirnya terjadi insiden yang menyebabkan seorang mahasiswa bernama Arif Rahman Hakim menjadi korban.

Kondisi yang melatarbelakangi demo yang melahirkan tunturan Tritura tersebut juga sudah dirasakan rakyat saat ini. Hampir semua harga bahan pokok melambung menyusul kenaikan minyak goreng, pertamax, PPN; kabinet tidak mampu mengendalikannya, ada upaya-upaya yang sistematis, masif dan terstruktur untuk melanggar Pancasila dan UUD 1945 dengan memperpanjang masa jabatan Presiden, dan kembali bangkitnya komunisme.

Jadi singkat kita semuanya kembali terpulang kepada rakyat dan mahasiswa. Apakah merasa kenyang dan tenteram hidup dalam kondisi sekarang? Tapi harus diingat babi yang konon merupakan hewan terbodoh sejagat tidak akan menempuh jalan yang sama jika sebelumnya sudah pernah ada babi yang terperosok di jalan itu!!! (***) Syafnijal Datuk Sinaro/Pemred   

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here