Home SALAM MERDEKA “Akal Bulus” Tunda Pemilu

“Akal Bulus” Tunda Pemilu

0

Trabas.co – Jika saya amati dan cermati pernyataan-pernyataan Presiden Jokowi belakangan ini, makin kuat dugaan bahwa segala macam cara dihalalkan guna memperpanjang masa jabatan. Mau halal, mau haram, mau konstitusional, mau diktator, terserah gue!. Gue yang berkuasa, loe mau apa? Kira-kira begitulah kasarnya ngomong.

Dan perlu dicatat, upaya pemerintah untuk menunda Pemilu ini sudah untuk kesekian kalinya!!! Yang pertama mewacanakan penundaan Pemilu adalah Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang mengakui secara terus terang usulan tersebut hasil diskusinya dengan kalangan pengusaha. Lalu disusul Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto. Kemudian, Zulkifli Hasan, ketua Umum DPP PAN ikut mendukung penundaan Pemilu 2024. Meski, kita semua tahu bahwa PAN lahir sebagai buah reformasi yang harusnya taat dan tegas menjalankan amanat reformasi. Tidak ketinggalan Ketum PKB Muhaimin Iskandar pun ikut nebeng.

Tetapi yang pasti dan jelas Zulhas sudah memetik hasil dukungannya, menyusul pengangkatannya menjadi Menteri Perdagangan. Persetan dengan amanat reformasi! Apalagi kini parpol-parpol pendukung penundaan Pemilu sudah bergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu yang disiapkan guna mendukung Ganjar menjadi capres, jika tidak mendapat dukungan dari partainya PDIP, karena ada batu sandungan Puan Maharani.

Lantas, muncul Menkorinvest Luhut Binsar Panjaitan (LBP) yang tadinya di belakang layar maju ke gelanggang dengan menambah “bualan” baru, konon 110 juta rakyat Indonesia pengguna medsos setuju Pemilu ditunda. Namun setelah didesak sejumlah kalangan untuk membuktikan omongannya LBP malah berkelit. Lalu kabarnya, tim lobi juga mereka sebar ke Senayan. Bagi anggota Dewan yang mau mendukung amandemen UUD guna merevisi masa jabatan presiden yang dua kali masa jabatan sudah dijanjikan DP—apalagi jika bukan cuan.

Masih belum cukup, dibuatlah acara pertemuan pengurus APDESI se-Indonesia di GBK, Jakarta agar terkesan mendapat dukungan dari bawah–walau akhirnya diketahui APDESI bodong–yang mengeluarkan pernyataan mendukung penundaan pemilu alias memperpanjang masa jabatan Jokowi. Manuver penundaan Pemilu 2024 mulai agak surut, setelah ribuan dan bahkan jutaan mahasiswa di segenap kota di Tanah Air turun ke jalan menolak upaya yang bertentangan dengan konstitusi tersebut.

Tetapi yang namanya “syahwat” berkuasa, apalagi mengikuti arahan oligarki pendukungnya, upaya untuk menunda Pemilu kembali menyeruak ke permukaan. Diduga terdapat sejumlah faktor yang membuat Jokowi bertekad bulat memperpanjang masa jabatan.

Pertama, Jokowi tentu ingin duduk dulu di singasana istana baru di Kaltim yang dipaksakan membangunnya dan harus selesai menjelang tahun 2024 dan tentunya mendapat konsesi-konsesi dulu di IKN tersebut, jika sudah tidak menjabat.

Kedua, menunggu masuknya 10-20 juta WNA, terutama dari China ke Indonesia sehubungan kebijakan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang visa rumah kedua (second home visa) bagi WNA. Kebijakan tersebut tercantum dalam Surat Edaran Nomor IMI-0740.GR.01.01 Tahun 2022 Tentang Pemberian Visa dan Izin Tinggal Terbatas Rumah Kedua yang diterbitkan Selasa (25/10/2022). Melalui visa ini, orang asing atau mantan WNI dapat tinggal selama lima atau 10 sepuluh tahun dan bebas melakukan berbagai macam kegiatan, seperti investasi dan kegiatan ekonomi, politik lainnya.

Untuk tempat tinggal jutaan WNA ini maka disiapkan lah IKN di Kaltim dengan pemberian izin hak guna bangunan (HGB) selama 80 tahun dan dapat diperpanjang hingga 160 tahun tak menyalahi aturan serta sejumlah insentif pajak. Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR/BPN Suyus Windayana mengungkapkan, pemberian izin HGB hingga 80 tahun dan dapat diberikan siklus kedua selama 80 tahun berikutnya sudah sesuai dengan UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960.

Ketiga, oligarki yang berada di belakang Jokowi tentu tidak perlu menggelontorkan dana puluhan triliunan guna memenangkan “capres bonekanya” melalui Pemilu 2024—sebab lebih hemat dengan membayar ketum-ketum parpol koalisi dan anggota DPR RI guna memuluskan keputusan penundaan Pemilu. Keempat, tentu sambil mempersiapkan anak dan menantu, minimal menjadi gubernur dulu sebelum lengser.

Kelima, ini yang paling krusial. Diduga kuat terjadi ketidaksepakatan antara Ketua Umum PDIP Megawati dengan Jokowi soal calon presiden ketika bertemu empat mata, beberapa pekan lalu. Konon Mega ngotot ingin memajukan sang putri Puan Maharani menjadi capres sebagai keberlanjutan trah Soekarno dan menjaga kedigdayaan PDIP sebagai pemenang Pemilu untuk ketiga kalinya. Mega mafhum sekali, jutaan rakyat mendukung PDIP karena “aura nasionalis” Soekarno, sang proklamator.

Sebaliknya, Jokowi berkemungkinan seusai arahan oligarki– menginginkan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah menjadi capres. Selain didukung luar-dalam oleh oligarki dengan pendanaan yang tidak terbatas, Ganjar diyakini lebih pasti akan melanjutkan kebijakan-kebijakan Jokowi yang pro China dan oligarki serta menjamin “membesarkan” anak dan mantu Jokowi.

Keenam, muncul kekhawatiran akan kian besarnya dukungan rakyat, baik dari pemilih Islam maupun non-Islam terhadap Anis Baswedan. Apalagi Anies sudah resmi ditetapkan Partai Nasdem (nasionalis) sebagai bakal calon Presiden sehingga dukungan kaum nasionalis dan non-muslim bakal melambung. Apalagi mereka sudah merasa nyaman berada di bawah kepemimpinan Anies selama menjadi Gubernur DKI.

Di samping itu, kubu Prabowo masih ngotot untuk maju menjadi Capres menggantikan Jokowi. Meski Prabowo sudah bekail-kali menyanjung Jokowi “bak setinggi langit”, namun dukungan Jokowi terhadap menterinya itu tak kunjung tiba. Bisa jadi karena memang oligarki dan China kurang sreg dengan Prabowo yang merupakan mantan prajurit yang memiliki sikap nasionalisme tinggi sehingga tidak bisa dikendalikan dan bisa merugikan mereka nantinya. Akhirnya Prabowo makin erat bergandengan dengan Muhaimin Iskandar dari PKB yang awalnya mendukung penundaan pemilu. Tetapi belakangan ditinggalkan para sekutunya di Koalisi Indonesia Bersatu.

Jika nanti muncul lebih dari dua pasang Capres (Anies, Ganjar, Prabowo dan Puan) maka sulit bagi Ganjar untuk menang dengan mudah, meski didukung dana triliunan. Kenapa? Pemilih PDIP akan terbelah. Suara pemilih nasionalis dan non-Islam (diluar PDIP) juga terbelah sebagian mendukung Prabowo—karena ada Muhaimin (PKB), sebagian mendukung Anies. Apalagi jika akhirnya Demokrat dan PKS mendukung Anies. Karena itu, sebagaimana diakui petinggi PKS, partainya ditawari pemerintahan Jokowi jabatan dua kementrian asal mau bergabung dengan koalisi pemerintah guna menggagalkan pencalonan Anies.

Namun bukan berarti upaya Jokowi untuk menggagalkan pencapresan Anies bakal berakhir. Masih ada upaya lain, yakni jika Anies tidak memilih Agus Harimurti Yudhoyono (AYH) menjadi cawapres maka Demokrat bisa saja dirayu agar bergabung ke koalisi pemerintah dengan menjadikan AHY cawapresnya Ganjar. Apakah SBY bergeming, dengan tawaran tersebut, karena sebelumnya Moeldoko—orang Jokowi–mengkudeta kepeminpinan AHY di Demokrat, kita lihat dan tunggu sejauh mana “harga diri” SBY dan AHY (Demokrat)? Namun harus diingat Demokrat baru akan masuk koalisi Jokowi, ketika Jokowi sudah berpisah dengan Mega—yang selama ini menjadi batu sandungan bagi Demokat merapat ke kubu Jokowi.

Tanda-tanda Jokowi “berseberangan jalan” dengan Mega makin kelihatan, ketika sang putri proklamator tersebut menolak kemauan Jokowi untuk mencapreskan Ganjar dari PDIP. Indikatornya, pendukung Jokowi dan Ganjar mengancam akan mengkudeta Mega dan mengangkat Jokowi menjadi Ketum PDIP guna memuluskan pencapresan Ganjar. Lalu, DPP PDIP memanggil dan menegur Ganjar yang mengeluarkan pernyataan, siap mencalonkan diri menjadi capres dan FX Hadi Rudyatmo, Ketua DPD PDIP Kota Solo karena terang-terangan mendukung Ganjar.

Sejumlah pengamat menilai, hal itu bisa terjadi, namun risikonya amat besar. Pendukung PDIP yang selama ini mengidolakan Soekarno akan beralih mendukung Capres lain sehingga berpotensi menurunkan pendukung Ganjar maupun Puan.

Jadi, kini tim think tank kubu Jokowi sedang memutar otak, langkah apa yang paling rendah risikonya guna memuluskan perpanjangan masa jabatan sang presiden. Kebetulan pula ekonomi dunia pasca pandemi Covid-19 sedang menghadapi resesi. Kondisinya diperparah oleh dampak perang Rusia dan Ukraina yang menyebabkan terjadi krisis pangan dan energi.

Maka digembar-gemborkan lah bahwa Indonesia akan mengadapi ekonomi yang berat dan sulit. Jika rakyat yang kurang wawasan dan pengetahuan dicekoki dengan pernyataan ini setiap hari dan diperkuat oleh para buzzer, maka mereka akhirnya akan memaklumi bahwa akan lebih baik bagi negara dan bangsa untuk menunda pemilu karena biayanya sangat besar sehingga menguras APBN, sementara keuangan negara sedang seret.

Termasuk PDIP sendiri ikut pula memberi sinyal Pemilu bakal ditunda. Sebelumnya, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa partainya akan mengumumkan calon presiden (capres) 2024 usai persoalan ekonomi dapat ditangani. “Itu (pengumuman capres 2024) akan dilakukan setelah berbagai persoalan ekonomi dapat diatasi,” ujar Hasto kepada wartawan di Sekolah Partai PDIP, dikutip dari viva.co.id.

Warganet dengan akun Twitter @PresidenKopi menyebut PDIP seperti memberi tahu bahwa Indonesia sedang mengalami masalah ekonomi, sehingga keadaan negara menjadi pertanyaan. “Secara nggak langsung mereka telah memberitahu bahwa ekonomi kita dalam persoalan. Apakah ini baik2 saja??” ucapnya.

Sebaliknya Mantan Sekretaris BUMN, Muhammad Said Didu mengungkapkan bahwa PDIP secara tidak langsung memberi tahu bahwa Pemilu 2024 akan ditunda. Terkait hal ini, Said Didu menyebut PDIP memberikan sinyal bahwa Pemilu 2024 akan ditunda, terdapat tiga indikator yang menguatkan prediksinya.

Mereka memberitahu bahwa pemilu akan ditunda. Indikatornya: 1) dimana-mana Presiden katakan untuk calon Presiden 2024 – ojo kesusu,” ucapnya dikutip dari Twitter @msaid_didu, Senin (31/10).

“2) kompak menyatakan bahwa ekonomi 2023-2024 krisis dan gelap. 3) tinggal menunggu usulan seluruh penjabat Gubernur dan Bupati/Walikota untuk menunda pemilu,” pungkasnya.

Soal usulan penjabat Gubernur dan Bupati/Walikota untuk menunda pemilu, bakal mudah diperoleh Jokowi. Pasalnya 101 pejabat bupati/walikota/gubernur yang diangkat tahun ini dan akan berkuasa hingga pilkada akhir tahun 2024—tentunya adalah orang-orangnya semua. Apapun keinginan atasan akan diikuti—seperti Sambo memerintahkan ajudannya menembak Brigadir Josua– tetap dijalankan meski sang ajudan tahu perintah itu salah.

Lalu ketika upaya Jokowi untuk menunda Pemilu mendapat dukungan dari orang dekat Mega—Sekjen PDIP–bisa jadi sudah muncul sinyal dari Jokowi (win win solution tentunya) bahwa jika akal bulusnya ini berjalan mulus maka Puan akan diangkat jadi wakil presiden. Bagi Mega, tentu ini langkah yang paling rendah ongkos politiknya. Jika saja Puan menjadi wapres selama dua setengah atau tiga tahun, tentu sudah cukup modal untuk maju bertarung dalam Pilpres tahun 2027 mendatang.

Hanya bagi rakyat yang paham dengan akal bulus Jokowi akan paham bahwa ini merupakan strategi guna menunda Pemilu. Alasannya kuat, jika keuangan negara seret dan utang menumpuk serta terancam resesi, kenapa triliunan rupiah dana APBN digelontorkan untuk membangun infrastuktur ibu kota negara (IKN) di Kaltim dan KA cepat Jakarta-Bandung?

Seperti diungkap ahli epidemologi, Tifauzia Tyassuma yang dikutip portal fajar.com menyoroti pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut 2023 akan ada badai besar karena resesi ekonomi. Melalui akun Twitter pribadinya, alumni Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dikenal dengan sebutan Dokter Tifa itu, menyinggung Jokowi soal rencana pembangunan IKN.

Ia mempertanyakan, soal Jokowi yang sudah mengetahui akan terjadi resesi ekonomi tapi tetap ngotot membangun IKN. “Sudah tahu akan ada badai besar. Dunia akan gelap. Resesi dahsyat. Rawan pangan hebat,” ungkapnya Senin (31/10/2022).
“Kenapa masih ngotot bangun IKN?” sambungnya.

Hal ini turut dapat perhatian dari warganet, ada yang mendukung pernyataan Dokter Tifa, namun ada pula yang balik menyetil ahli episemologi itu. “Sepertinya itu cuma pengantar, biar punya alasan pemilu tidak jadi dan bisa 3 periode,” ujar pengguna akun Twitter @Basirwahyu. “Otakmu nggak nyampe buk,@ ucap akun Twitter @van_Hautje.

Semoga saja rakyat yang melek dengan akal bulus pemimpin negeri ini makin banyak dan lebih 110 juta pengguna medsos benar-benar menolak menunda pemilu, Amiin! (***) Syafnijal Datuk/Pemred

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version