Menuju Keruntuhan Republik?

0
465

Salam Merdeka, trabas.co – Pada kampanye pemilihan presiden-wakil presiden pada Pemilu tahun 2019 silam, capres Prabowo Subianto mengutip novel fiksi “Ghost Fleet” karya pengamat politik dan kebijakan ternama asal Amerika Serikat, Peter Warren Singer dan August Cole yang menulis bahwa Indonesia bubar sebelum tahun 2030.

Judul asli novel tersebut adalah “Ghost Fleet: a Novel of The Next World War”. Terbit pertama kali di Amerika Serikat (AS) pada 2015 lalu berisi lebih dari 400 halaman. Novel ini menjadi perhatian serius bagi petinggi militer AS. Laksamana (Purn) James G Stavridis menyebut buku ini sebagai blue print guna memahami peperangan di masa depan. Stavridis, yang kini menjabat sebagai dekan di Fakultas Hubungan Internasional Tufts University, mewajibkan pimpinan militer membaca novel tersebut. Ghost Fleet sendiri lebih banyak menggambarkan perang China vs AS pada tahun 2030 ketimbang sebab musabab Indonesia tidak lagi eksis di muka bumi.

Singer menggambarkan situasi perang modern, ketika pesawat tanpa awak (drone) mendominasi AU kedua belah pihak. Perang juga melanda sistem informasi tingkat tinggi, dan cakupannya bukan hanya peretasan situs internet, melainkan satelit yang memantau bagian permukaan bumi.

Singer juga menceritakan China yang mengalami kemajuan pesat. Di samping lebih kaya dari AS, China juga mampu menciptakan persenjataan canggih. Kelompok Komunis China pun digambarkan sudah tidak memiliki pengaruh dan telah usang. China dipimpin kelompok baru yang disebut sebagai Directorate–merupakan elit gabungan antara kelas pengusaha kakap dan pimpinan tentara. Kelompok ini menggantikan pemimpin Partai Komunis yang segera dilupakan.

Kata ‘Indonesia’ sendiri disebut dalam “Ghost Fleet”, namun hanya tujuh kali di enam halaman. Indonesia yang sudah tidak lagi eksis disinggung pertama kali pada bagian I halaman 13. Singer dan Cole menuliskan kata ‘former Republic of Indonesia’ atau bekas Republik Indonesia (RI). Akan tetapi, Indonesia yang sudah tidak lagi eksis hanya diceritakan sebatas cerita pembuka dan hanya satu kalimat saja.

Tak dijelaskan rinci penyebab RI bubar. Singer hanya menyebut Indonesia sudah tidak ada pasca-terjadinya Perang Timor II. “Kanal sepanjang enam ratus mil antara RI dan Malaysia kurang dari dua mil lebarnya pada jarak tersempit, hampir memisahkan masyarakat otoriter Malaysia dari anarki di mana RI tenggelam ke dalamnya setelah Perang Timor II,” seperti ditulis dalam novel tersebut.

Penggambaran Indonesia itu tertulis saat Komandan Kapal USS Coronado, Jamie Simmons tengah berada di Selat Malaka. Simmons sempat mengatakan dalam novel itu bahwa lebih dari separuh kapal dunia melintas di Selat Malaka. Indonesia kembali disinggung pada halaman 19 dalam kalimat yang diucapkan salah satu tokoh dalam novel, General Wu Liao saat berada di Kantor Kedubes AS di Beijing, China. “Latihan bersama China untuk membantu membawa perintah ke perairan di sekitar bekas RI, merupakan pertanda kita akan menjadi yang paling kuat di masa depan,” kata Jenderal Wu di novel itu.

Kemudian pada halaman 29, wilayah bekas Indonesia kembali disebut. Kali ini oleh Laksamana Wang yang tengah merencanakan strategi mempertahankan wilayahnya.
Wilayah bekas Indonesia disebut-sebut menyimpan cadangan energi. Karenanya, China berupaya menghalau AS masuk wilayah yang salah satunya adalah ‘bekas’ Indonesia.

Meski begitu, Indonesia hanya disebut secara sepintas saja. “Meskipun mereka (AS) tidak lagi membutuhkan sumber energi asing yang pernah diraih dan rasakan, kita masih harus menanggung gangguan mereka dalam kepentingan kita di Transjordan, Venezuela, Sudan, Uni Emirat Arab dan bekas Indonesia,” kata Wang.

Kemudian pada halaman 62, bekas wilayah Indonesia kembali disinggung. Sama seperti sebelumnya, Indonesia hanya disebut sambil lalu. Tak ada kalimat yang menggambarkan kondisi Indonesia secara rinci saat AS dan China terlibat perang di 2030. “Drone listrik V1000 milik Direktorat (China) sebenarnya telah digunakan untuk berbagi data kepada sistem komersial, tapi kelincahan dan kemampuannya menghilang menjadikannya pilihan bagi China untuk misi penyerangan di Afrika dan bekas RI,” seperti dikutip novel tersebut.

Singer, dalam Ghost Fleet di halaman 119, sempat menyindir Indonesia, meski sudah tak ada dalam novel yang ditulisnya. Sindiran itu tertulis saat Singer menggambarkan suasana pelabuhan galangan kapal Zumwalt dari pandangan seorang tokoh bernama Jamie Simmons yang melihat pelabuhan Zumwalt tampak seperti sesuatu yang telah hancur dan mengapung di perairan. Zumwalt yang telah hancur juga tampak seperti puing-puing kota terapung yang pernah ada di Indonesia, yang mana orang-orang menenun logam (barangkali tapis), plastik, dan kayu yang semestinya mustahil menjadi rumah.

Pertanyaannya, mungkinkah Indonesia bubar sebelum Perang Timor II tahun 2030?
Bisa saja, sebab jalan menuju ke arah tersebut sudah terbentang luas. Berbagai kebijakan sedang dibangun rezim bersama para pemimpin parpol yang kemaruk kekuasaan tanpa berpikir waras dan objektif didukung para hakim yang sudah hilang hati nuraninya demi posisi dan jabatan.

Termasuk yang terakhir Mahkamah Konstitusi (MK) yang hampir dipastikan akan memutuskan, ketentuan umur calon presiden dan wakil presiden yang di dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 minimal 40 tahun yang tertuang dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diubah, hanya agar Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi bisa menjadi calon wakil presiden. Hampir dipastikan Gibran akan berpasangan dengan Prabowo Subianto yang mengutip novel fiksi “Ghost Fleet” bahwa Indonesia sudah tidak ada pada pasca-terjadinya Perang Timor II tahun 2030.

Apakah ini berarti Prabowo ingin membuktikan ucapannya empat tahun silam? Prabowo yang lahir 17 Oktober 1951 akan berusia 72 tahun pada hari Selasa, 17 Oktober 2023. Jika Allah SWT meridhoi pasangan Prabowo-Gibran memenangkan pemilihan presiden tanggal 14 Februari 2024 mendatang– karena semua sarana dan prasarana kepemerintahan yang berada di bawah kendali Presiden Jokowi dikerahkan memenangkan pasangan ini—maka 17 Oktober 2029 Prabowo akan berusia 78 tahun. Siapa yang menjamin Prabowo yang kabarnya sudah pernah terserang stroke akan tetap sehat enam tahun mendatang.

Jika terjadi sesuatu pada kesehatan Prabowo maka sesuai konstitusi masa jabatan tersisa akan diteruskan Wakil Presiden. Silakan rakyat Indonesia yang saat ini berjumlah sekitar 270 juta menilai, apakah Gibran yang baru berpengalaman menjadi Wali Kota Solo sejak tanggal 26 Februari 2021 atau baru menjabat dua tahun tujuh bulan akan mampu memimpin negara sebesar ini–yang selalu menjadi incaran negara-negara superpower untuk dikuasai dengan cara memecah belah dan mengadu domba rakyat dan pemimpinnya?

Bagi negara-negara dengan sistem parlementer atau kerajaan tidak menjadi soal mengenai kapabilitas dan kapasitas Presiden/Raja karena ada Perdana Menteri (PM) yang akan mengendalikan jalannya roda pemerintahan dan memimpin para menteri di kabinet. Tapi bagaimana di negara dengan sistem presidensil? Seperti Republik Indonesia di mana presiden selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan yang mengendalikan roda pemerintahan dan memimpin para menteri di kabinet.

Apakah para profesor, doktor, akademisi, ahli tata kelola pemerintahan, ahli hukum tata negara, ahli hubungan internasional, ahli strategi pertahanan dan pemangku kepentingan lainnya di negeri ini yang masih waras semuanya membebek pada kepentingan keberlanjutan kekuasaan dinasti Jokowi melalui “Pemilu Sayang Anak” yang sewaktu Orde Baru ditentang habis-habisan sehingga melahirkan Reformasi.

Namun apa hendak dikata, ketika aktivis dan pejuang reformasi yang pada tahun 1997-1998 berjuang dan dengan lantang menyuarakan menentang kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), kini setelah berkuasa malah mendukungnya.

Melihat kondisi pengelolaan ketatanegaraan/pemerintahan sekarang, saya jadi teringat artikel/opini yang ditulis budayawan Emha Ainun Najib di Harian Kompas edisi Minggu 4 Mei 2003 yang berjudul “Pantat Inul adalah Wajah Kita Semua”. Penyanyi dangdut Inul Darasista menjadi fenomenal dengan goyang ngebor dan berpakaian ketat yang disinyalir tidak memakai celana dalam.

Intinya pesan moral yang ingin disampaikan penulis bahwa para pemimpin dan rakyat Indonesia adalah hipokrit, yakni sikap kemunafikan yang secara terbuka menyatakan memiliki sikap atau bertingkah laku tertentu, tetapi kemudian bertindak dengan cara yang tidak konsisten dengan sikap atau tingkah laku tersebut. Kalau masyarakat awam menyebutnya, pagi kedele, siang tempe dan malam sudah menjadi oncom.

Tahun 1990 pun, budayawan Muchtar Lubis dalam bukunya “Manusia Indonesia”, juga sudah menulis enam sifat bangsa Indonesia yang satu di antaranya adalah hipokrit (munafik) dan feodal. Sikap-sikap feodalisme dapat kita lihat dari bagaimana pemerintah dalam urusan jabatan, banyak yang mengutamakan hubungan atau kedekatan ketimbang kecakapan, pengalaman, maupun pengetahuannya.

Jiwa feodal ini tumbuh subur tak hanya di kalangan atas, namun juga bawah. Bahkan masalah feodalisme dijalankan para pemimpin kita secara optimal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik ‘bagi kursi’ atau bagi-bagi jabatan yang terjadi dalam kancah politik Indonesia adalah salah satu bentuknya.

Singkat kata saya jadi curiga, apa memang para pemimpin parpol, para hakim MK, profesor, doktor, akademisi, ahli tata kelola pemerintahan, ahli hukum tata negara, ahli hubungan internasional, ahli strategi pertahanan dan pemangku kepentingan lainnya di negeri ini tidak peduli negara ini bubar dan hancur dari dalam sebelum tahun 2030– sesuai isi novel di atas– sehingga dengan mudah dikuasai asing dan aseng, seperti sewaktu Belanda menjajah Bumi Pertiwi empat abad silam? Saat itu di Nusantara hanya ada kerajaan-kerajaan kecil yang terbatas kekuatan militer dan ekonominya sehingga dengan mudah dijajah negara lain.

Jika memang para pemimpin kita di atas bersikap dan berwatak seperti ramalan Joboyo yang menyebut bahwa pada akhir zaman nanti orang edan (pemimpin “gila”) akan dinilai rakyatnya waras dan yang waras malah yang dituding edan (gila) maka tinggal menunggu waktu keruntuhan yang sebenarnya. Apalagi memang agen-agen intelijen asing dan aseng juga secara optimal melakukan propaganda guna mencuci otak bangsa Indonesia agar mendukung para pemimpin edan agar tetap menjadi boneka mereka.

Makanya kini nasib republik tergantung 204.807.222 pemilih pada Pemilu 2014, apakah masih ingin republik ini eksis dan kuat atau memang sudah terhipnotis dan memilih pemimpin edan sehingga akhirnya runtuh sebelum Perang Timor II. Semoga saja Allah SWT melindungi bangsa den negara kami, amiin! (Syafnijal Datuk Sinaro/Pemimpin Redaksi)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here