Home SALAM MERDEKA Morowali, Membakar Asap Mengobar Senyap

Morowali, Membakar Asap Mengobar Senyap

0

Salam merdeka, Trabas.co – Ebiet G Ade pernah bersenandung kisah derita orang-orang yang terusir tergusur.

Digambarkannya dengan tangis tersembunyi, ada amarah tersekat dalam rongga dada.
Berkecamuk duka haru biru, jiwa-jiwa yang terpinggirkan. Seperti itulah Morowali
Sulawesi Tenggara, mewakili perasaan rakyat Indonesia yang terhempas dari harga
diri dan kehormatan, yang terbuang dari kemakmuran dan keadilan.

Bukan hanya tergusur, rakyat kerap mengalami perampasan hak-hak mendasar dalam
hidupnya. Negara kaya sumber daya alam dan berlimpah sumber daya manusia,
terbiasa melumuri rakyat dengan derita dan nista pada kesehariannya. Keringat,
darah dan nyawa yang menghidupi nasionalisme dan patriotisme, harus dibayar
dengan penindasan dan kebiadaban di sepajang zaman kemerdekaan negerinya.
Terutama kemerdekaan untuk bangsa asing yang mewujud kolonialisme dan
imperialisme modern, nikmat memperkosa kemolekan Indonesia. Bersama jongos lokal
yang setia, penjajahan kembali berjaya di kekinian nusantara.

Nikel, minyak, gas, sawit dan emas serta pelbagai rahmat Tuhan yang melengkapi
kemerdekaan negara bangsa Indonesia. Tak tersentuh dan mustahil dirasakan
manfaatnya oleh kebanyakan rakyat. Amanat terabaikan, meski tersirat dan
tersurat direkomendasikan Pancasila dan UUD 1945. Republik menjadi lahan subur
bagi bangsa asing, namun menjadi lahan gersang bagi rakyat pribumi. Terjebak
utang karena ambisi kerakusan materi, ramah dan santun melayani bangsa asing,
namun beringas pada rakyatnya sendiri.

Menjadi bangsa kuli di atas bangsa kuli, sistem dan perilaku kekuasaan sukses
menjadikan bangsa asing bangga, bahagia dan sejahtera. Rakyat tetap bergumul
dengan kemiskinan, didera derita panjang dalam hamparan kekayaan negerinya.
Eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa, kokoh dan
angkuh bertengger di bumi Pancasila.

Dalam penjajahan gaya baru berwajah kapitalis dan komunis gaya baru pula, oligarki beserta ternak-ternaknya menyeringai. Memamerkan taring tajam dan siap memangsa, mencabik-cabik kedaulatan rakyat. Kejahatan begitu sempurna dan lengkap dalam rezim kekuasaan.

Dengan kekuatan modal korporasi, Politisi bersama birokrasi menggunakan uang,
jabatan dan senjata menjadi mesin pembunuh paling efektif bagi kebanyakan rakyat
yang lemah. Melumpuhkan konstitusi sembari membungkam demokrasi, membuat rezim
kekuasaan menjadi semakin korup, bengis dan menjadi psikopat tirani.

Kerusuhan Morowali Sulawesi Tenggara yang melibatkan pekerja dan warga lokal
dengan TKA Cina. Seperti menyadarkan publik, bahwasanya pemberontakan sosial tak
pernah mati betapapun gegap-gempitanya penindasan menggongong. Cacing yang lemah
dan melata pun akan menggeliat saat terinjak. Rakyat seakan memberi sinyal, “silent mayority” kini mulai bersuara. Mulai ada denyut dan detak bahasa di tengah kesunyian kepasrahan. Gemercik api mulai menjalar tertiup angin kegelisahan dan kegundahan. Kata-kata kesadaran kritis dan perlawanan yang tak pernah terucap, perlahan mulai mewujud aksi.

Pikiran tak lagi mencerahkan dan bahasa tak lagi menyadarkan. Hanya tindakan
yang bisa disampaikan mewakili rasa. Anarkis yang mengakhiri akumulasi frustasi,
menjadi alat komunikasi paling hakiki. Seperti mengulang episode revolusi saat
melawan kolonialisme dan imperialisme, rakyat mulai mendobrak konstitusi.
Menjebol dan membangun, memandang hukum feodal akan menjadi penghalang
perubahan, seperti kata Bung Karno yang menjadi pegiat revolusi.

Tragedi Morowali di tengah masifnya kebiadaban bernegara, perlahan menjadi
mukadimah yang mengakhiri kejumudan rakyat. Tak sekedar tergusur dari kekayaan
lahannya, rakyat juga tergusur dari negara kesejahteraan. Warga Morowali bagai
membakar asap yang sudah membumbung tinggi seantero negeri. Mengobar panas suhu
rakyat yang dingin dalam kesunyian. Asap sudah mengepung jantung dan membelenggu
denyut nadi kehidupan rakyat. Membuat rakyat sesak napas, sulit dan tak mampu
lagi bernapas menghirup udara kemerdekaan yang sesungguhnya. Bukan api yang
menyebabkan asap. Namun asap beracun yang menyembur dari kerusakan penyelenggaraan negara. Asap hitam mengepul syahwat kekuasaan rezim, yang memicu
api perlawanan dan pemberontakan rakyat terindas.

Pada akhirnya, semua hanya bisa melihat dan menunggu apa yang akan terjadi kelak
pada rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Dalam keheningan dan terpinggirkan
dari suara mayoritas atas tirani minoritas. Gejolak suara-suara yang selama ini
bungkam pada kerinduan akan kemakmuran dan keadilan sosial, kini mulai berbisik
nyaring dan keras. Terutama ketika Morowali, membakar asap mengobar senyap. (Oleh Yusuf Blegur/pengarang/portal-islam.id)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version