Home SALAM MERDEKA “Songong” ala Pejabat Indonesia

“Songong” ala Pejabat Indonesia

0

Trabas.co –  Baru saja (Kamis 20/10/2022, waktu setempat) Perdana Menteri (PM) Inggris Liz Truss mundur dari jabatannya karena merasa gagal menyelamatkan negerinya dari krisis ekonomi. Dalam sebuah pernyataan di luar Downing Street, London, sang PM mengaku tak mampu membalikkan situasi perekonomian negaranya yang mengalami inflasi mencapai di atas 10%.

Lalu, Presiden AS Joy Biden lagi gontok-gontokan dengan Raja Salman Arab Saudi karena OPEC memangkas produksi minyak dan gas sehingga AS terpaksa menggelontorkan cadangan minyaknya guna memenuhi kebutuhan rakyatnya. Ekonomi negara-negara Eropa seret dan mengalami krisis energi akibat pandemi Covid dan imbas perang Rusia-Ukraina. Lalu ekonomi Srilanka, Pakistan dan sejumlah negara di Asia tengah serta Eropa timur morat-marit.

Bahkan Dana Moneter Internasional (IMF) mengeluarkan laporan prospek ekonomi dunia atau World Economic Outlook (WEO) Oktober 2022. Dalam laporan ini tertulis bahwa pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun depan diprediksi terpangkas 0,2 persen dari 2,9 persen menjadi 2,7 persen. Selain itu, laporan ini juga menulis bahwa 31 negara dunia bakal jatuh ke lubang resesi.

“Sekitar 43 persen, atau 31 dari 72 negara pertumbuhan ekonominya akan terkontraksi selama dua kuartal beruntun (resesi), atau lebih dari 1/3 kekuatan ekonomi dunia,” tulis IMF dalam World Economic Outlook Oktober 2022, dikutip Rabu (12/10/2022).

Sebaliknya Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva melihat prospek ekonomi Indonesia masih cukup baik. Hal tersebut disampaikan Georgieva usai bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di sela-sela IMF Annual Meetings 2022 di Washington DC, Amerika Serikat pada Selasa, 11 Oktober 2022. Bahkan, menurut Georgieva, Indonesia tetap menjadi titik terang di tengah perekonomian global yang memburuk.

Lantas, para menteri ekonomi Indonesia menjadi songong (sombong) dan yakin bisa lolos dari jebakan resesi. Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi empat negara aman dari ancaman resesi di tahun 2023. Keempatnya adalah: Indonesia, India, Brazil dan Meksiko. Menurutnya, meski kondisi perekonomian global menekan negara berkembang, tapi situasi di negara itu lebih baik dari negara maju.

“Negara emerging juga mengalami kondisi relatif tertekan. Meskipun dalam situasi saat ini, emerging country seperti Indonesia, India, Brazil, Meksiko relatif dalam situasi yang cukup baik,” ujarnya dalam Seminar Nasional Badan Keahlian DPR RI, Rabu (19/10).

Sementara, negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Eropa dan China dikatakan sulit untuk menghindari resesi. Sebab, inflasi tinggi melonjak di negara tersebut dan membuat kebijakan moneter ikut mengetat. (https://www.cnnindonesia.com)

Lalu Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir memastikan Indonesia tidak akan terkena resesi pada 2023. Sebelumnya, berbagai lembaga keuangan internasional memperkirakan dunia akan mengalami resesi tahun depan. “Jadi kalau Bapak atau Ibu yang hadir hari ini lesu, berarti salah mengambil posisi karena Indonesia tidak (akan terkena) resesi (pada 2023),” kata Erick di Jakarta Convention Center, Selasa, 11 Oktober 2022.

Erick optimistis, dari berbagai data indikator ekonomi yang ada, ekonomi Indonesia akan terus tumbuh di kisaran 5 persen sampai 2045. Indonesia juga akan memposisikan diri menjadi negara ekonomi terbesar di dunia. “Kalau tidak ranking 5, tapi harusnya ranking 4, apalagi middle class kita akan terus tumbuh,” kata Erick. (cnbc.com)

Namun harus ingat, sebelum terjadi krisis ekonomi tahun 1998, IMF juga memuji-muji ekonomi RI pada saat berbagai negara lain mulai limbung dan para menteri ekonomi Kabinet Pembangunan juga bersikap songong. Lalu apa yang terjadi, tak lama kemudian Indonesia tersungkur dan paling lama pulih dari krisis. Bahkan Presiden Soeharto pun jatuh akibat krisis yang meluluhlantakkan ekonomi nasional tersebut.

Saya juga ingat ketika China dan sejumlah negara lainnya babak belur dihantam pandemi Covid-19 di awal tahun 2020, sejumlah menteri Kabinet Jokowi “cengengesan”, virus Covid bakal tak berani masuk ke Indonesia. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pernah berkelakar bahwa virus corona tidak ditemukan di Indonesia karena masyarakatnya memiliki kekebalan tubuh yang didapat dari kegemaran memakan nasi kucing.

Lalu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa virus corona alias Covid-19 diperkirakan tidak kuat dengan kondisi cuaca Indonesia. “Dari hasil modelling, cuaca Indonesia di ekuator yang panas dan humidity tinggi maka untuk Covid-19 itu enggak kuat,” ujar dia dalam konferensi video, Kamis, 2 April 2020.

Kembali ke soal krisis, rontoknya kurs rupiah terhadap dolar AS yang sebelumnya masih Rp14.200/dolar AS, kini sudah Rp15.600/kg atau sudah anjlok hampir 10%, apakah tidak menjadi cikal bakal resesi? Bukan kah, kondisi serupa juga yang membawa Indonesia ke lembah resesi tahun 1998 lalu, dimana rupiah terjengkang hingga Rp17 ribu/dolar AS.

Lalu perkembangan harga-harga barang konsumsi terus melambung pasca kenaikan harga BBM subsidi beberapa waktu lalu, sementara daya beli masyarakat terus menurun. Informasi adik saya yang anggota keluarganya banyak bekerja di perusahaan tekstil di Jawa Barat, sejumlah pabrik sudah mengurangi shift kerja dari tiga shift menjadi dua, bahkan ada yang tinggal satu shift. Beberapa pabrik bahkan mulai mengurangi karyawan alias PHK karena omzet penjualan terus menurun.

Termasuk sejumlah perusahaan start up di Tanah Air mulai limbung, dan beberapa di antaranya mulai mengurangi karyawan sebagai dampak menurunnya omzet yang berimbas kepada menipisnya keuntungan. Hanya karena sebagiai besar media massa mainstream di Tanah Air pendukung rezim karena dimiliki pimpinan parpol koalisi maka kondisi riil di lapangan ini tidak diungkap secara transparan dan yang diberitakan selalu kesuksesan.

Seperti sebentar lagi KA cepat Jakarta-Bandung akan beroperasi; pembangunan IKN on the progress. Presdien resmikan tol ini dan tol itu. Lihat saja, sebentar lagi tolt-tolan itu bakal diobral murah, guna menutupi utang BUMN yang membangunnya. Percaya sama saya!

Lalu menurut putri sulung saya yang bekerja di perusahaan dari Finlandia di Cikarang, Bekasi, perusahaannya mulai melakukan berbagai penghematan, terutama fasilitas-fasilitas bagi karyawan mulai dikurangi, termasuk perjalanan-perjalanan dinas para manajer dan rapat-rapat dilakukan secara daring.

Kemudian, World Population Review (WPR) juga menempatkan Indonesia masuk dalam jajaran 100 negara paling miskin di dunia. Indonesia masuk dalam urutan ke-73 negara termiskin di dunia. Indikator ini diukur dari Gross National Income (GNI) atau pendapatan nasional bruto RI tercatat US$3.870 per kapita pada 2020.

Sementara, mengutip gfmag.com, Indonesia menjadi negara paling miskin nomor 91 di dunia pada 2022. Hal ini diukur dengan produk domestik bruto (PDB) atau gross domestic product (GDP) dan purchasing power parity (PPP) atau keseimbangan kemampuan berbelanja. Tercatat, angka PDB dan PPP RI sebesar US$14.535.

Kendati begitu, posisi ini masih lebih baik dari beberapa negara di Asia
Tenggara yang masuk di daftar 100 negara termiskin, seperti Vietnam yang berada
di urutan ke-82, Filipina ke-72, Kamboja ke-46), Myanmar ke-45, dan Timor Leste
ke-29.

Sebelumnya, Bank Dunia mengubah batas garis kemiskinan. Hal ini membuat 13 juta warga Indonesia yang sebelumnya masuk golongan menengah bawah menjadi jatuh miskin. Hal ini terungkap dalam laporan ‘East Asia and The Pacific Economic Update October 2022’. Basis perhitungan terbaru ini mengacu pada keseimbangan kemampuan berbelanja pada 2017. Sementara, basis perhitungan yang lama adalah keseimbangan kemampuan berbelanja 2011.

Batas garis kemiskinan Bank Dunia tersebut tentu berbeda dengan yang menjadi
acuan BPS. Dalam basis perhitungan terbaru, Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan ekstrem dari US$1,9 menjadi US$2,15 per kapita per hari. Dengan asumsi kurs Rp15.216 per dolar AS, maka garis kemiskinan ekstrem Bank Dunia adalah Rp32.812 per kapita per hari atau Rp984.360 per kapita per bulan.

Kemudian, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengumumkan inflasi September melonjak 1,17% secara bulanan. Inflasi September ini merupakan yang tertinggi sejak Desember 2014. Laju inflasi diperkirakan terus meningkat tinggi pada sisa tahun ini, hingga mencapai level di atas 6% pada akhir 2022.

Jadi jika masih ada pejabat yang menyatakan, bahwa Indonesia bakal bisa melewati resesi. Itu artinya mereka sedang berusaha meyakinkan rakyat agar tetap tenang dan tidak gelisah hingga mendemo pemerintah segala, seperti yang terjadi di Srilanka. Mereka ingin menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi hebat, bahkan lebih hebat dari 28 negara yang sudah minta pinjaman ke IMF guna memulihkan ekonomi mereka yang terbelit resesi.

Tapi ingat, dengan beban utang luar negeri lebih dari Rp7 ribu triliun dan beban cicilan bunga utang plus cicilan utang pokok lebih Rp800 triliun/tahun atau 27 persen dari APBN Rp3 ribu triliun, rasanya sulit bagi negeri ini untuk lolos dari jebakan resesi. Apalagi Presiden Jokowi masih memaksakan syahwatnya untuk menyelesaikan proyek mega KA Jakarta – Bandung dan proyek ibukota negara (IKN) sehingga menguras keuangan negara.

Singkat cerita, apakah negara kita mengalami resesi atau tidak, bukan tergantung statemen-statemen pejabat negara di berbagai media dan angka-angka inflasi. Karena di negara kita angka-angka bisa diatur sesuai pesanan. Berbeda dengan di negara maju, angka statistik sudah baku dan jika diutak-atik bisa diprotes akademisi dan praktisi. Di negara kita, akademisi bisa saja diorder karena ikut bermain politik guna memperoleh jabatan.

Tetapi apa dan bagaimana kondisi kehidupan yang dirasakan rakyat menengah ke bawah sehari-hari. Apakah menurut mereka kehidupan semakin membaik atau memburuk? Hanya karena rakyat kita sudah terbiasa hidup dalam kondisi sulit maka tidak terlalu panik ketika harga-harga barang naik dan pendapatan menurun. Sebab sesuai dengan falsafah hidup rakyat kita, “tidak ada rotan akar pun jadi.” Artinya jika tidak mampu beli daging sapi bisa diganti dengan ayam, jika beli ayam pun sudah tidak mampu maka tempe dan tahu pun jadilah. Ketika beli beras sudah tidak mampu, masih ada tiwul. Tetap ada jalan untuk menyiasati kondisi yang terjadi.

Berbeda dengan orang Barat dan negara maju yang terbiasa hidup berkecukupan maka ketika harga-harga kebutuhan naik maka sulit mencari subsitusi seperti di negara kita. Hanya yang bisa mereka lakukan, ketika harga udang besar mahal maka beli udang kecil yang harganya lebih murah. Ketika harga kopi naik tunda dulu ngopi di cafe dan beli kopi bubuk lalu diseduh di rumah.

Khusus bagi rakyat, jika ada yang mengaku kondisi ekonomi sekarang makin baik, bisa jadi karena dibayar atau ketiban proyek dari rezim atau bisa jadi sudah 87 alias kendor tali (snar) enamnya (terganggu akal sehatnya)–istilah anak-anak muda tahun 80-an. (Syafnijal Datuk/Pemred)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version