Ucapan Kadis Kominfotik Ternyata Benar, Sebut Gubernur Lampung Masih Bisa Menjabat 2024 Setelah Putusan MK

0
202
Gubernur Lampung Arinal Djunaidi

BANDARLAMPUNG, TRABAS.CO – Benar, apa disampaikan Kepala Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik (Kominfotik) Provinsi Lampung, Achmad Saefulloh soal jabatan Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi.

Achmad menyebutkan bahwa Pak Gubernur Arinal masih bisa menjabat hingga 2024. Hal itu lantaran Achmad mengatakan mengenai pelantikan pejabat eselon II.

Saat ditanya media ini. Apakah boleh Pak Achmad? Gubernur Lampung Arinal Djunaidi melantik pejabat eselon II. Padahal jabatan Gubernur Arinal akan habis akhir Desember ini. Sesuai aturan UU ASN, kepala daerah dilarang melantik pejabat jika masa akhir jabatan (AMJ) memasuki enam bulan.

Kata siapa tidak bisa? Pak Gubernur Arinal itu tetap bisa menjabat hingga 2024. Karena jabatan kepala daerah sebenarnya lima tahun.

Pelantikan pejabat Pemprov Lampung bisa dilakukan, walaupun UU ASN menyebutkan pelantikan tidak bisa dilakukan apabila jabatan Gubernur akan habis enam bulan lagi, ” ujar Achmad saat berbincang dengan media ini ketika kunjungan Ketua PWI pusat, Hendry Ch Bangun bersama Ketua PWI Lampung, Wirahadikesuma di rumah Dinas Mahan Agung, (29/11/2023) beberapa waktu lalu.

Percakapan Achmad tersebut ternyata benar dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait jabatan kepala daerah yang dilakukan tujuh pemohon mempersoalkan Pasal 201 Ayat (5) UU No 10/2016 tentang Pilkada, akhirnya dikabulkan.

MK telah membacakan putusan tersebut dengan Nomor 143/PUU-XXI/2023 yang membatalkan ketentuan di dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang mengharuskan kepala daerah hasil pemilihan 2018 dan baru dilantik pada 2019 berhenti akhir tahun ini.

Diketahui, sebanyak 48 kepala dan wakil kepala daerah terimbas putusan ini. Dengan ada keputusan MK ini ereka bisa menjabat hingga lima tahun atau maksimal sampai satu bulan menjelang hari-H pemungutan suara Pilkada 2024.

Putusan MK tersebut dibacakan pada Kamis (21/12/2023), yang pada intinya MK mengabulkan permohonan tujuh kepala daerah yang mempersoalkan Pasal 201 Ayat (5) UU No 10/2016 tentang Pilkada. Pasal 201 Ayat (5) UU Pilkada mengatur ”Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023”.

Ketujuh kepala daerah tersebut adalah Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul. Mereka didampingi oleh Febri Diansyah, Rasamala Aritonang, dan Donal Fariz dari kantor Visi Office.

Para kepala daerah tersebut mempersoalkan Pasal 201 Ayat (5) UU No 10/2016 tentang Pilkada yang menimbulkan dua dampak berbeda terhadap 171 kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan 2018. Bagi mereka yang dilantik pada 2018, pasal tersebut tidak menimbulkan persoalan akhir masa jabatan karena masa jabatan mereka utuh selama lima tahun atau hingga 2023.

Namun, bagi kepala daerah yang dilantik pada 2019, masa jabatan mereka terpotong dengan variasi yang beragam karena harus berakhir pada 2023.

Dari 171 kepala daerah yang terpilih melalui Pilkada 2018, ada 48 kepala daerah yang pelantikannya dilakukan 2019. Adapun rinciannya, 4 kepala daerah tingkat provinsi, 8 wali kota/wakil wali kota, dan 36 bupati/wakil bupati.

MK menilai, kondisi tersebut menyebabkan perlakuan yang berbeda dalam hal pelantikan sehingga pada akhirnya menyebabkan perbedaan lamanya masa jabatan yang diperoleh setiap kepala daerah dan wakil kepala daerah. Padahal, 171 kepala daerah atau wakil kepala daerah tersebut dipilih pada pemilihan yang sama, yaitu pada 2018.

”Berkenaan dengan hal tersebut, menurut Mahkamah, pengaturan transisi terkait dengan pemungutan suara secara serentak tidak dapat mengabaikan pengaturan terkait pelantikan kepala daerah dan wakilnya. Pengaturan tentang pemungutan suara secara serentak harus diikuti oleh norma yang mengatur tentang pelantikan secara serentak,” ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra.

MK menyatakan, Pasal 201 Ayat (5) UU Pilkada telah menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan memberikan perlakuan berbeda di hadapan hukum.

Oleh karena itu, MK menyatakan pasal ini bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ”Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil

Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil pemilihan tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang jabatan selama lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati satu bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024. (Bay)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here