Ibu Pertiwi Hamil Tua

0
311

Trabas.co – Pidato terakhir Bung Karno pada Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966 patut menjadi bahan renungan dan introspeksi bagi kita anak bangsa yang masih cinta negara ini tetap utuh, berdaulat dan demokratis. Saat itu dengan suara bergetar Pemimpin Besar Revolusi tersebut menegaskan agar rakyat jangan sekali-kali melupakan sejarah atau disingkat “Jasmerah”. Kenapa?

Sebab jika kita runut ke belakang bahwa setiap sekitar 25-30 tahun terjadi pergantian kekuasaan yang berdarah-darah di negeri ini. Peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru misalnya, tahun 1966—setelah 21 tahun merdeka– yang didahului Kudeta PKI tanggal 30 September 1965 dengan membunuh para jenderal Angkatan Darat (AD).

Saya masih ingat betul ketika membaca tajuk rencana Majalah Sket Massa di awal tahun 1965, yang menampilkan judul “Ibu Pertiwi Hamil Tua” yang isinya menguraikan sejumlah indikator bahwa pertentangan PKI dengan ABRI kian menganga. Hanya berselang tujuh bulan kemudian benar-benar terjadi, “Ibu Pertiwi Bersimbah Darah”. Dua kali terjadi perang dunia, jumlah jenderal yang tewas tidak sebanyak dalam peristiwa G30S/PKI tersebut.

Artinya pemberontakan PKI akhir September tersebut “lebih luar biasa” dibandingkan dengan dua kali perang dunia yang melibatkan semua negara besar di dunia ini. Apalagi kemudian, jika kita hitung penduduk sipil yang mati terbunuh, baik sebelum pemberontakan selama atau pun setelahnya juga mungkin lebih besar dibandingkan dengan perang dunia.

Tiga puluh satu tahun kemudian, tepatnya 1997, kembali terjadi pertumpahan darah dalam suksesi kepemimpinan di negeri ini. Penculikan dan penghilangan paksa pun dilakukan rezim demi membungkam para aktivis yang menuntut pemerintah Orba turun. Total terdapat 23 aktivis yang dinyatakan hilang dalam periode 1997-1998. Dimana sebagian dari mereka adalah aktivis pro demokrasi. Dari jumlah tersebut, hanya 9 orang yang kembali. Satu orang ditemukan tewas, sementara 13 lainnya belum kembali dan nasibnya masih menjadi misteri hingga kini.

Kontradiksinya, jenderal yang dituduh menjadi dalang penculikan tersebut kini menjadi salah satu calon presiden dan sekali lagi menurut survei elektabilitasnya paling tinggi. Artinya pidato Bung Karno yang mengingatkan rakyat agar jangan melupakan sejarah sudah diabaikan.

Kini setelah 27 tahun reformasi, Ibu Pertiwi kembali hamil tua. Apakah melahirkannya berdarah-darah sebelum pencoblosan Pemilu tanggal 14 Februari 2024 atau setelahnya, tergantung pada matangnya triger-triger pemakzulan Presiden Jokowi yang secara terang-terangan sudah menyelewengkan marwah dan semangat reformasi guna kepentingan diri dan keluarganya.

Bahkan tidak saja Petisi 100 yang mendesak Presiden Jokowi digulingkan—sebelum Presiden Soeharto jatuh juga muncul Petisi 50–kini santer isu bakal mundurnya sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju menyusul M Mahfud MD. Sebelum Presiden Soeharto jatuh juga didahului oleh mundurnya sejumlah menteri Kabinet Pembangunan.

Meski sejatinya rakyat sudah muak dan jengah dengan kelakuan Jokowi dalam menjalankan roda pemerintahan dan memaksakan putranya menjadi calon wakil presiden, sang presiden justru makin pongah seakan negara ini milik keluarganya dan APBN duit pribadinya. Sebagaimana Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengkampanyekan, agar rakyat berterima kasih kepada Presiden Jokowi yang sudah menggelontorkan bansos. “Kesombongan” Jokowi makin menjadi-jadi, ia pertontonkan seakan ia bisa melakukan apa saja, dimana sana dan kapan saja tanpa ada yang bisa menghalangi. Bahkan sejumlah pengamat sampai menyindir bahwa ia yang presiden, ia juga menteri sosial hingga kepala desa.

Presiden menggelontorkan beras bansos secara gila-gilaan dengan anggaran terbesar sepanjang sejarah republik ini dan dibagikannya sendiri agar rakyat mendukung putranya Gibran yang menjadi calon wapres berpasangan dengan Prabowo menang satu putaran. Masih belum cukup, ia juga putuskan untuk membagikan dana BLT yang pencairannya dirapel tiga bulan sekaligus. Masih belum puas, ia naikkan gaji PNS/TNI/Polri. Ia tidak peduli meski dicibir pengamat bahwa sebagaimana permainan catur ketika raja sudah turun gunung berarti kondisi sudah gawat–semua pion, menteri dan perdana menteri sudah kalah.

Bukan hanya itu, Jokowi makin jumawa, ia menegaskan bahwa sebagai presiden ia berhak berkampanye mendukung sang putranya. Bahkan sambil memperlihatkan pasal-pasal UU Pemilu pada selembar karton ia membacakan beberapa pasal yang berisi bahwa presiden boleh berkampanye. Tetapi ia lupa juga terdapat pasal-pasal lainnya yang mengisyaratkan dalam Pemilu pejabat negara hingga kades, dilarang membuat kebijakan/keputusan dan kegiatan yang menguntungkan salah satu calon– apalagi seorang presiden/kepala negara.

Kepongahan dan kecongkakan sang presiden, akhirnya membuat para guru besar dan civitas akademika puluhan perguruan tinggi di Tanah Air turun gunung dengan bersikap dan mengkritik kelakuan sang presiden yang sudah melanggar etika dan moral melalui berbagai petisi. Arus kritik kian membesar, menggelinding bak bola salju, karena para jubir dan menteri Jokowi justru menuding suara para civitas akademika sebagai partisan dan elektoral.

Dan kontradiksinya, jika memang suara para guru besar tersebut partisan dan elektoral, kenapa pihak tertentu ditugaskan untuk “memaksa” para rektor agar membuat video pernyataan yang memuja-muji kinerja Jokowi. Operasi senyap tersebut terkuak ketika salah seorang rektor mengungkapkannya ke publik bahwa ia dihubungi orang-orang tertentu dari instansi penegak hukum agar bersedia membuat pernyataan yang isinya memuja-muji Jokowi.

Gelombang pesan moral tidak hanya sampai pada guru besar dan civitas akademika perguruan tinggi. Tokoh-tokoh agama juga bersuara lantang. Bahkan seorang kardinal sampai menyatakan, bahwa dalam sejarah umat manusia ketika raja-raja bertindak sekehendak perutnya, maka Tuhan menurunkan nabi-nabi untuk menghentikannya hingga raja-raja tersebut tumbang.

Kini tidak saja guru besar, civitas akademika dan tokoh agama, para mahasiswa pun sudah turun ke jalan menuntut Jokowi digulingkan. Memang baru di Jakarta dan Bandung, ribuan mahasiswa yang demo, tetapi dalam waktu singkat akan menjalar bak air bah ke berbagai kota di Tanah Air.

Pemerintah jangan lagi menganggap enteng dan sepele gerakan ini. Ingat pesan Presiden Soekarno agar bangsa Indonesia tidak melupakan sejarah. Apalagi bagi bangsa Indonesia, memang pada bulan Januari merupakan bulan yang berdarah-darah. Sebab 50 tahun lalu, tepatnya 15 Januari 1974 terjadi malapetaka 15 Januari (Malari). Saat itu terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh massa, yang terdiri dari aktivis dan mahasiswa memprotes kebijakan Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Aksi demonstrasi yang awalnya berlangsung damai tersebut, berubah menjadi kerusuhan besar di Jakarta.

Hingga kerusuhan mereda pada 16 Januari 1974, tercatat 11 orang meninggal, 177 mengalami luka berat, 120 luka ringan dan 755 orang ditahan. Sementara itu 807 mobil dan 187 sepeda motor rusak atau dibakar, 144 bangunan dan 1 pabrik rusak atau terbakar, serta sejumlah 160 kg emas hilang dijarah.

Meski sudah digelontorkan ribuan bahkan ratusan mungkin jutaan ton beras bansos dan triliunan dana BLT, jangan dianggap rakyat sudah tenang. Diakui atau pun tidak, selama ini rakyat kecil resah dan gelisah oleh ulah pemerintah yang menjalankan kebijakan pemerintahan secara sembrono dengan membangun proyek-proyek mercusuar di tengah derita rakyat. Seperti kereta cepat Jakarta-Bandung; pembangunan ibukota negara di Kaltim dan masih banyak lagi.

Sementara korupsi uang negara merajalela di mana-mana, dari tingkat menteri hingga kepala desa. Ketika rakyat menghadapi harga-harga bahan pokok yang makin mahal, lapangan kerja sulit, biaya pendidikan dan kesehatan makin mahal, sebaliknya para pejabat, politisi dan aparat negara mempertontonkan kehidupan bergelimang uang dan bermewah-mewah.

Di tengah kehidupan rakyat yang sedang nestapa, pemerintah masih berlagak seperti lintah darat bagi rakyat kecil menyusul rencana menaikkan pajak sepeda motor dan menghapus BBM pertalite di mana dananya akan digunakan untuk mensubsidi tiket kereta cepat, LRT dan tentunya pembelian kendaraan listrik. Belum lagi, rakyat kecil dipersulit untuk pembelian gas elpiji 3 kg, meski pendaftarannya diperpanjang.

Jika Pemilu 14 Februari mendatang sampai curang, maka hampir dipastikan terjadinya suksesi kepemimpinan nasional berdarah-darah bakal terjadi kembali. Mahasiswa dan rakyat akan bahu-membahu menuntut gulingkan Presiden Jokowi. Ketika rakyat dan mahasiswa turun ke jalan, jangan sekali-kali kekuatan represif aparat. Aparat harus bertindak sesuai sumpahnya yakni menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan melindungi kelanjutan “dinasti” Jokowi. Sebab taruhannya bukan saja Presiden yang akan turun dengan terhina, tetapi bangsa dan negara ini akan tercabik-cabik dan mengancam disintegrasi.

Apakah kita anak bangsa yang masih berpikir waras ini, mau negara yang sudah dimerdekakan dengan darah, nyawa dan harta oleh para pahlawan 79 tahun silam lalu rela kita korbankan hanya demi meneruskan dinasti Jokowi?. Mudah-mudah saja doa dan perjuangan anak bangsa yang masih mencintai negara dan bangsa ini diijabah oleh Allah SWT. Semoga firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 54: Dan mereka membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya—menjadi kenyataan. Amiin! (Syafnijal Datuk Sinaro/Pemimpin Redaksi)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here