ACT DIGEBUK, KRISIS MASUK LEVEL SIAGA !!!

0
379

TRABAS.CO– Di tengah gempuran dan keberhasilan TEMPO menjatuhkan kepercayaan masyarakat terhadap ACT, Tekanan US$ terhadap Rupiah kali ini amat berat. Tidak main-main. Kepanikan di pasar uang global memukul rupiah bertekuk lutut terhadap dolar AS selama 10 hari berturut-turut. Menembus Rp 15.040 per US$.

Pelemahan rupiah terhadap US$, selain dipengaruhi kenaikan harga minyak akibat diputusnya pipa North Stream 1 oleh Rusia ke 19 negara Eropa, eskalasi perang Ukraina serta kebijakan zero Covid China, faktor terbesarnya dipicu arogansi AS lewat The Fed naikan suku bunga sebesar 0.50-0.75 percented point.

Kenaikan suku bunga kebijakan AS dilakukan untuk merespon perlambatan ekonomi Paman Sam yg sejak awal tahun memang dilanda krisis. Terlihat dari struktur fundamental ekonominya yg terus menuju pendalaman ketergantungan terhadap impor.

Dikonfirmasi defisit perdagangan AS Triwulan I 2022, capai US$ 87.1 miliar.
Disusul kenaikan inflasi umum capai 8.6%, dipicu inflasi energi 34.6% dan pangan
10.2%, tertinggi sejak 41 tahun terkahir atau sejak 1981.

Kenaikan suku bunga AS, memicu kenaikan yield obligasi (bunga surat utang)
pemerintah di seluruh dunia, terutama emerging market, termasuk Indonesia.

Yiled Obligasi tenor 10 tahun pemerintah Indonesia naik capai 7.4%. Di atas
batas aman 6.7-6.8%. Kenaikan yield ini, membuat modal asing di pasar uang money
fly out ke AS. Picu defisit transaksi modal finansial US$ 1 7 miliar. Dampaknya,
cadangan devisa berkurang dari US$ 139.1 miliar jadi US$ 135.6 miliar pada akhir
kuartal I.

Secara teoritik, fungsi utama cadangan devisa adalah mengawal stabilitas rupiah
terhadap US$. Jika berkurang maka, rupiah pun jatuh seperti sekarang.

Di saat yg sama, rupiah juga anjlok lantaran fundamental ekonomi rill memang
bertumpu pada impor. Sehingga cadangan devisa lebih banyak dikeluarkan buat
bayar impor dibanding menerima pemasukan dari ekspor. Tingginya ketergantungan
terhadap impor, selanjutnya menggerek naik inflasi akibat tekanan Imported
Inflation.

Seperti kasus minyak. 80% lebih kita bergantung impor. 2 kali lipat lebih mahal
harga karena kejatuhan nilai tukar dan kenaikan harga. Artinya, lebih banyak
menguras cadangan devisa untuk datangkan minyak impor dari MOP’s.

Kenaikan harga energi, menggerek naik inflasi nasional. BPS menetapkan nilai
inflasi Indonesia dalam status siaga. Sepanjang Januari-Juni (year to date),
inflasi menyentuh 3,19%. Posisi tersebut adalah yang tertinggi sejak
Januari-Juni 2013 atau dalam sembilan tahun terakhir. Pada periode tersebut
inflasi year to date mencapai 3,35%.

Inflasi tertinggi terjadi pada harga bahan pangan/makanan. BPS menyebut, bahan
pangan menguras 65% pendapatan masyarakat Indonesia dengan relasi kemiskinan
baru di atas 73%. Terutama harga beras, Dimana kenaikannya 10% diikuti naiknya
1.2 juta kemiskinan baru.

Anjloknya rupiah dan meroketnya inflasi, selanjutnya bikin jebol APBN. Terutama
bengkaknya biaya subsidi, belanja sosial lainnya dan cicilan bunga utang.
Terkhusus pada belanja subsidi energi (BBM). Menjadi perhatian serius kalangan
luas terhadap cara pemerintah mengakali jebolnya APBN lewat pembatasan konsumsi
BBM bersubsidi dengan menerapkan Aplikasi MyPertamina.

Situasi kritis juga nampak pada kondisi ULN yg capai Rp 6.068 triliun dengan
relasi cicilan bunga utang yg mengalami defisit (neraca primer) Rp 462 triliun.
Artinya APBN tidak memiliki dana Rp 462 triliun untuk bayar cicilan utang.
Makanya harus ambil utang baru lagi untuk lunasi cicilan jatuh tempo di 2022.

Gali lubang tutup jurang !!!
Anjloknya rupiah secara dramtis, ekonomi bergantung impor, serta tingginya
cicilan utang ini, menjadi jawaban kenapa inflasi bergerak naik di atas target
APBN 2022. Sampai-sampai mendag pun kaget, kenapa harga cabai bisa naik di
pasaran. Dalam hitungan BI, setiap kejatuhan rupiah 1%, inflasi naik 0.9%.

Dalam teori politik ekonomi, inflasi adalah alat penjajahan yg ampuh. Dia
mencekik leher rakyat lewat kenaikan harga yg cenderung memiskinkan. Sebaliknya
berdampak efisien terhadap pelaku usaha swasta. Nampak pada nilai gini rasio
nasional yg dalam catatan BPS capai 0.384. Melampaui standar aman IMF 0.25 dan
Bank Dunia 0.35. Artinya, ketimpangan pendapatan antara kaya dan miskin makin error. Kaya makin kaya. Miskin makin menderita.

Masalah sebesar ini, sayang belum mendapat respon serius. Ditengah situasi sulit
yg mencekik batang leher rakyat, pemerintah malah sibuk dengan agenda politik
lanjutkan kekuasaan di 2024. Selain itu masalah se-serius ini juga belum
mendapat respon masyarakat luas, lantaran dipukul kasus Hollywings dan ACT.

Padahal di seluruh dunia, bahkan adidaya ekonomi semisal Amerika, China dan 19
negara Uni Eropa, telah menetapkan status dsrurat krisis dan memberi respon
siaga.

Di Amerika, saat ini, inflasi tembus angka 8.6%, tertinggi selama 41 tahun
terakhir sejak 1981. Di China penangguran naik 6.1%. Di zona Euro, inflasi
pangan serta energi masing-masing capai 7.5% dan 23%.

Semuanya menakutkan. Dan yang paling bahaya adalah persoalan krisis pangan
akibat kelangkaan dan kenaikan harga. Oxfam dalam laporan terbarunya sebut,
kenaikan harga pangan di seluruh dunia naik rata-rata 22.9% yang disebabkan
kenaikan harga gandum global 40% akibat tensi geopolitik Ukraina dan Rusia yg
memang mengendalikan 30% pasokan gandum global.

Krisis pangan sedang melanda dan akan terus menguat di tahun depan karena
keberlanjutan konflik ukraina diperkirakan berlangsung selama 10 tahun ke depan.
Dampaknya ke kemiskinan sangat horor.

Oxfam menyebut, sejak awal 2022, krisis telah menambah 1 juta kemiskinan baru
setiap 33 jam sekali. Dengan kenyataan seperti itu, Oxfam menetapkan sepanjang
2022, krisis akan menambah 263 juta kemiskinan baru di seluruh dunia. Mirisnya, di saat yang sama, di tengah krisis hebat, justru bertambah 1 miliarder dunia baru di waktu yg sama, setiap 33 jam sekali.

Artinya, 1 juta kemiskinan baru dibayar dengan kenaikan 1 miliarder baru selama
33 jam sekali. Inilah presedennya, di tengah krisis global berlangsung hebat,
minoritas orang kaya, tetap menikmati hasil yg terus bertambah.

Hal tersebut menegaskan, sistem politik ekonomi dunia yg berlaku saat ini memang
dibangun di atas fundamental yg rapuh. Cenderung serakah, moral hazard (sistem
eror) dan profit adalah tuhan.

Inipun berlaku di Indonesia. Basis Sistem yg tanpa belas kasihan, merampas hak
milik orang banyak (menengah-bawah) dan diserahkan kepada minoritas orang kaya.

Kita semua tau, Rusia telah memotong pipa north stream I yang mendistribusikan
minyak dan gas ke zona euro. Artinya, Rusia sedang menciptakan perang baru
melawan Eropa yang mendukung AS dan NATO di Ukraina. Perang baru tersebut
bernama “energy price war”. Perang harga energy.

Artinya, harga minyak dunia akan terus bergerak naik di atas US$ 110.06 per
barel (WTI) saat ini. Meskipun Amerika (the big producer oil) dan OPEC bisa
menjadi kekuatan penyeimbang pasokan, tapi daya tawar mereka lemah dalam konteks
distribusi.

23 negara OPEC tiap harinya mampu produksi 28 juta barel minyak dengan sumbangan
teebesar dari Saudi 10 juta Barel per hari. Tapi mereka tidak mengusai
infrastruktur pipa distribusi. Layanan mereka berbasis hilirisasi tanker laut yg
cenderung tidak efisien. Distrubusi minyak mereka bertambah rumit dengan
terhambatnya mata rantai supplay chain global akibat penerapan kebijakan zero
covid di China dalam bentuk penutupan kota-kota dan pelabuhan besar dunia.

Sejumlah pakar menyebut, kebijaka China digulirkan untuk mendukung Rusia
mengahantam Eopa, AS dan sekutu dalam perang harga energi.

Hasilnya, di tengah situasi krisis harga minyak sekarang, pasokan OPEC sama
sekali tidak mampu menolong turunnya harga di bawah US$ 100 per barel.

Sekali lagi, di tengah kekacauan global seperti ini, Indonesia belum menunjukan
perhatian serius. Sebaliknya malah sibuk berebut simpati rakyat dan manuver
jahat lanjutkan kekuasaan di 2024.

Pastinya, kemarin otoritas moneter Indonesia telah memangkas pertumbuhan ekonomi
dari 5.5% menjadi 4.7%. Hal ini mengindikasikan, Indonesia sedang melamban dan
secara bertahap menuju kirisis.

Kerentanan perekonomian menuju krisis sangat didukung oleh lemahnya kebijakan
fiskal dan moneter Indonesia. Di sisi fiskal, kenaikan harga minyak di atas ICP
US$ 63 per barel, telah menjebol keuangan Pertamina, menjebol APBN untuk subsidi
solar dan pertalite.

Tololnya, politik kebijakan anggaran sangat tidak proporsional. Subsidi terus
yang disalahkan, sementara belanja konsumtif lainnya tetap dipelihara. Semisal
belanja pegawai dan modal.

Fiskal juga dibayangi defisit fiskal Rp 868 triliun akibat tekanan belanja
konsumtif semisal belanja pegawai dan belanja modal.

Fiskal juga dibayangi defisit primer Rp 462 triliun. Artinya, APBN tidak punya
uang sebanyak itu untuk bayar bunga utang. Harus ambil utang baru tuk lunasi
bunga utang lama itu.

Fiskal juga dibayangi ULN (Utang Luar Negeri) yang capai Rp 6.068 triliun dengan
risiko gagal bayar yg nyata. Kemampuan kita mencetak dolar AS dari proses ekspor
untuk membayar utang tersebut sangat lema diukur berdasarkan DSR yang melampaui
batas aman 215.08%.

Ketidak mampuan ini, sudah lama terjadi. Ambil contoh 2012, rupiah masih seharga
Rp 12.700 terhadap dolar AS. Sekarang jadi Rp 14.600. Artinya, kekayaan uang
kita terus berkurang terhadap dollar AS.

Kata Bank Indonesia, itu efek dari rupiah yang terus mencari keseimbangan baru.
Saya menyebutnya, keseimbangan baru menuju pelemahan. Karena sampai hari ini,
sejumlah orang di BI sendiri tidak mampu menjawab satu pertanyaan saya: berapa
batas bawah (undervalue) kejatuhan rupiah terhadap dolar AS?

Tidak pernah bisa dijawab selama liberalisasi moneter masih dipelihara lewat
rezim devisa terbuka dan sistem nilai tukar basis free floating exchange rate.

Dalam sistem seperti ini, BI, kementrian keuangan dan OJK tidak punya kuasa
mengendalikan dan menentukan value rupiah. Pergerakannya dibiarkan menyesuaikan
diri dengan irama pasar besar. Artinya ditentukan berdasarkan modal asing yg
masuk-keluar pasar uang dan pasar saham.

Investor asing dibiarkan mencuri kekayaan uang indonesia setiap tahunnya atas
nama imbal hasil investasi dengan pengembalian suku bunga yg mahal. Rakyat
dibiarkan mampus dengan kenaikan harga akibat tingginya impor yang memiskinkan.
Malah subsidi turut dikurangi.

Merespon masalah se-serius ini tidak bisa dengan pendekatan ilmu ekonomi. Karena
ini persoalan kerusakan secara sistematis bukan persoalan rumus, efektifitas dan
efisien. Kerusakan sistem harus diperbaiki dengan pendekatan sistem.

Lalu apa sistem ekonomi yang pantas menjadi alternatif dari mekanisme pasar yang
cenderung serakah saat ini?

Dijawab dengan alternatif politik ekonomi. Bukan solusi basis ilmu ekonomi.
Karena yang mau diperbaiki bukan rumus dan hitungan basis efisiensi, tapi sudut
pandang tentang kualitas, keberpihakan, ketahanan dan kedaulatan. (Faisal Lohy/portalislam.com)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here